Rabu 17 Feb 2021 11:29 WIB

Kulamar Dirimu dengan Buku, Tapi Buku Makin tak Dibaca

Sejumlah survei menunjukkan minat baca semakin turun.

Red: Joko Sadewo
Buku (ilustrasi).
Foto: www.freepik.com
Buku (ilustrasi).

Oleh : Denny JA*

REPUBLIKA.CO.ID,  Inilah fakta. Buku semakin tak dibaca.

“Rumah tanpa buku, itu seperti badan tanpa jiwa.” Demikianlah pepatah lama. Ia dulu sangat mengena di hati.

Koleksi buku di rumah dan membacanya, itu sama pentingnya seperti menyediakan kopi dan teh di dapur, dan meminumnya. Tapi dua data di bawah ini membuat sedih pecinta buku. Apa daya, buku semakin tidak dibaca. Semakin banyak orang tak membaca buku.

Pertama, data dari Pew Research dan Gallup Poll. Di tahun 1978, penduduk Amerika Serikat yang tak membaca satu buku pun di tahun sebelum riset hanya 8 persen. Di tahun 2012, penduduk yang sama yang tak membaca satu buku pun di tahun sebelum riset, berlipat menjadi 18 persen.

Di tahun 2015, pertanyaan yang sama diajukan. Yang tak membaca buku meningkat 23 persen. Satu dari empat orang Amerika Serikat sudah tak lagi membaca buku.

Jika buku yang dimaksud adalah sastra, angkanya lebih buruk lagi. Ini riset dilakukan oleh National Endowment untuk populasi Amerika Serikat. Di tahun 1982, yang membaca setidaknya satu buku sastra, baik puisi,  cerpen, drama, novel, masih mayoritas. Yang membaca 56.9 persen. Di tahun 2015, pertanyaan yang sama diajukan. Yang membaca minimal satu buku sastra merosot hanya 43.1 persen.

Dengan kata lain, mayoritas penduduk Amerika Serikat tak lagi membaca satu pun buku sastra.  Jika di Amerika Serikat mengalami penurunan, yang tradisi membacanya kuat, apalagi di Indonesia.

Karena itu, kisah pernikahan Anto dan Ila di awal tahun ini, 18 Januari 2021, menjadi menarik.  Dalam lamaran pernikahannya, ada ritual seserahan tanda mata. Isi tanda mata dari Anto adalah beberapa buku.

Jika dulu ada ungkapan “katakanlah cinta dengan bunga.” Ekspresi cinta Anto lebih bersifat rohani dan intelektual: “katakanlah cinta dengan buku.”

Lebih tepat lagi mungkin: “kulamar dirimu, sayangku, dengan buku.”

Saya menerima kiriman foto anteran lamaran menikah itu. Ada beberapa buku yang menjadi ungkapan cinta. Mulai dari dua buku Jalaluddin Rumi: “Selected Poems,” dan “Spiritual Verses.” Keduanya terbitan  Pinguin Classic.  Ada juga buku Umar Kayam: “The Ruba’iyat of Omar Khayyam. Juga buku Farid Ud-din Attar: Conference of the Bird.

Saya bertambah senang, dalam antaran lamaran menikah itu, ada pula buku karya saya, Denny JA: Atas Nama Cinta.” Ini buku yang mengawali gerakan puisi esai di Indonesia.

Nama lengkap Anto: Paramaragarjito Budi Irtanto, SE, Msc. Ia lulusan ekonomi UI dan LSE, London. Ia putra dari Trisabdo Irianto dan Asih Budiningsih. “Anto dan Ila memang gemar membaca. Isi anteran lamaran menikah pun berbeda dari orang pada umumnya.  Isi lamarannya berbagai buku.” Demikian teks Asih Budiningsih, ibunya Anto, di japri WA saya, sambil melampirkan foto anterannya.

Ketika secara umum kultur membaca buku menurun, Anto justru meninggikan buku, menjadikannya ungkapan ritual pernikahan yang sakral.

Mengapa buku semakin jarang dibaca?

Pertama, teknologi video semakin murah dan mudah dipakai. Informasi melalui video, audio visual, juga lebih digemari.

Kedua, tersedia begitu banyak informasi yang dibutuhkan dalam bentuk ringkasan, di internet. Ada ringkasan buku. Ada review buku. Ada juga wikipedia.

Semakin banyak publik memilih baca ringkasan buku saja dalam bentuk berita buku. Membaca buku asli membutuh waktu berjam-jam, bahkan berhari-hari.

Ketiga, datangnya kultur media sosial. Di samping sisi positifnya, media sosial juga semakin membentuk kultur “banyak pilihan dan ringkas.” Akibatnya info yang laris disantap  hanya yang menampilkan permukaan. Akibat kultur ini, semakin sedikit individu berkomitmen menyediakan waktu berhari-hari untuk membaca habis satu buku.

Aplikasi Ringkasan

Sejak dua tahun lalu, saya bersama team menyiapkan aplikasi ringkasan buku. Saya beri nama aplikasi itu: Aha! Ini terjemahan dari Eureka! Ialah ekspresi ketika seseorang mendapatkan gagasan baru.

Saya membaca gejala itu. Manusia di era revolusi industri keempat semakin tak mau baca buku yang butuh waktu panjang. Padahal begitu banyak pencerahan yang bisa didapatkan dari buku.

Beserta team, kami sudah dan sedang meringkaskan sekitar 3000 buku terpilih. Cukup menghabiskan waktu 10-15 menit sehari, pembaca sudah mendapatkan lima gagasan utama setiap buku.

Tak hanya buku non fiksi. Sekitar 100 novel terbaik dunia juga diringkas. Lebih dari 100 film pemenang oscar dan lainnya juga diringkas. Menu utama memang buku penting bidang politik, ekonomi, marketing, agama, filsafat, neuro science dan happiness.

Jika tak ada halangan, aplikasi ringkasan buku fiksi, non fiksi dan film itu segera dilaunching. Aplikasi ringkasan buku dari luar negeri, BLINKIST, hanya menyediakan ringkasan buku non-fiksi. Kami menambahkan dalam koleksi itu ratusan buku fiksi dan film.

Buku memang semakin tak dibaca. Tapi itu juga karena semakin banyak informasi penting tak lagi disajikan dalam bentuk buku konvensional.

*) Penulis adalah pendiri Lingkaran Survei Indonesia

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement