Selasa 23 Feb 2021 23:36 WIB

Awal 2021, Penerimaan Pajak Turun Jadi Rp 68,5 Triliun

Penurunan penerimaan pajak terjadi di sektor migas dan nonmigas

Rep: Novita Intan/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Menteri Keuangan, Sri Mulyani. Sri Mulyani merinci penerimaan pajak dari non migas menurun dari Rp 77,9 triliun menjadi Rp 66,1 triliun. Penerimaan pajak non migas terdiri dari PPh non migas turun 15,8 persen menjadi Rp 39 triliun, pajak pertumbuhan nilai (PPn) turun 14,9 persen menjadi Rp 26,3 triliun, pajak bumi dan bangunan (PBB) turun 40,8 persen menjadi Rp 100 miliar, dan pajak lainnya sebesar Rp 600 miliar.
Foto: BNPB Indonesia
Menteri Keuangan, Sri Mulyani. Sri Mulyani merinci penerimaan pajak dari non migas menurun dari Rp 77,9 triliun menjadi Rp 66,1 triliun. Penerimaan pajak non migas terdiri dari PPh non migas turun 15,8 persen menjadi Rp 39 triliun, pajak pertumbuhan nilai (PPn) turun 14,9 persen menjadi Rp 26,3 triliun, pajak bumi dan bangunan (PBB) turun 40,8 persen menjadi Rp 100 miliar, dan pajak lainnya sebesar Rp 600 miliar.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Keuangan mencatatkan penerimaan pajak sebesar Rp 68,5 triliun per Januari 2021. Adapun realisasi ini menurun 15,3 persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnya sebesar Rp 68,5 triliun.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan penurunan ini disebabkan dari pajak penghasilan (PPh) migas turun 19,8 persen dari Rp 2,9 triliun menjadi Rp 2,3 triliun dan pajak nonmigas turun 15,2 persen. Hal ini dipengaruhi oleh fluktuasi harga komoditas.

“Harga dari migas kita dibandingkan Januari tahun lalu, meski sudah di atas asumsi, itu masih di bawah kondisi harga minyak tahun 2020,” ujarnya saat konferensi pers virtual APBN KiTa, Selasa (23/2).

Sri Mulyani merinci penerimaan pajak dari non migas menurun dari Rp 77,9 triliun menjadi Rp 66,1 triliun. Penerimaan pajak non migas terdiri dari PPh non migas turun 15,8 persen menjadi Rp 39 triliun, pajak pertumbuhan nilai (PPn) turun 14,9 persen menjadi Rp 26,3 triliun, pajak bumi dan bangunan (PBB) turun 40,8 persen menjadi Rp 100 miliar, dan pajak lainnya sebesar Rp 600 miliar.

Dari sisi lain, penerimaan dari kepabeanan dan cukai melonjak 175,3 persen dari Rp 4,5 triliun menjadi Rp 12,5 triliun. Kenaikan ini khususnya karena ada peningkatan dari bea keluar mencapai 923 persen menjadi Rp 1,1 triliun.

Lalu, penerimaan cukai naik 495,2 persen menjadi Rp 9,1 triliun. Salah satu pendorong kenaikan cukai berasal dari hasil tembakau yang melonjak 626 persen menjadi Rp 8,83 triliun.

"Ini disebabkan karena kenaikan cukai hasil tembakau mulai efektif Februari, sehingga banyak pabrik rokok yang memesan cukai pada bulan Januari ini untuk bisa mendapatkan sedikit keuntungan sebelum cukainya naik," ucapnya.

Sedangkan cukai dari etil alkohol, minuman mengandung etil alkohol (MMEA), dan denda administrasi cukai turun. Lalu, penerimaan dari cukai lainnya naik 44,13 persen, sehingga total dari penerimaan cukai meningkat 495 persen.

Selanjutnya, total bea masuk turun 20,7 persen. Alhasil, jumlah yang masuk ke kantor negara hanya Rp 2,3 triliun dari sebelumnya yang mencapai Rp 2,91 triliun.

Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini bilang penurunan sedikit banyak dipengaruhi oleh insentif fiskal yang digulirkan pemerintah bagi wajib pajak kalangan pelaku usaha. 

"Jangan lupa para wajib pajak dunia usaha masih dapat insentif fiskal yang kita perpanjang, jadi sebagian kontraksi ini karena kita beri ruang bagi para pelaku usaha untuk dapat insentif pajak karena mereka belum sepenuhnya pulih dari Covid,” ungkapnya.

“Masih rendahnya penerimaan pajak pada awal 2021 karena salah satu kebijakan pemberian insentif yang dilanjutkan hingga pertengahan tahun ini,” ucapnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement