Kamis 04 Mar 2021 17:04 WIB

IHSG Ditutup Koreksi, Asing Jual Saham Blue Chip 

Investor asing membukukan penjualan bersih Rp 17 miliar.

Rep: Retno Wulandhari/ Red: Friska Yolandha
Layar menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (30/1). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir di zona negatif pada penutupan perdagangan hari ini, Kamis (4/3). IHSG terkoreksi 85 poin atau melemah 1,35 persen dan turun ke posisi 6.290,79.
Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
Layar menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (30/1). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir di zona negatif pada penutupan perdagangan hari ini, Kamis (4/3). IHSG terkoreksi 85 poin atau melemah 1,35 persen dan turun ke posisi 6.290,79.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir di zona negatif pada penutupan perdagangan hari ini, Kamis (4/3). IHSG terkoreksi 85 poin atau melemah 1,35 persen dan turun ke posisi 6.290,79.

Investor asing membukukan penjualan bersih Rp 17 miliar dengan saham-saham blue chip yang paling banyak dilepas. Saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) terkoreksi 4 persen, PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) turun 2,33 persen, dan PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR) melemah 2,18 persen. 

Baca Juga

Sektor pertambangan, keuangan, infrastruktur, industri dasar, aneka industri, perdagangan, industri konsumsi mendominasi pergerakan IHSG sehingga menjadi kontributor terbesar pada penurunan IHSG hari ini. 

Direktur Asosiasi Riset dan Investasi Pilarmas Investindo Sekuritas, Maximilianus Nico Demus mengatakan pelemahan IHSG hari ini sejalan dengan pergerakan bursa saham Asia yang cenderung bergerak ke teritori negatif. 

Indeks Nikkei 225 Tokyo, Hang Seng Hong Kong serta Shanghai Compositer masing-masing terkoreksi hingga 2 persen. "Dari dalam negeri, pergerakan IHSG kali ini seiringan dengan pergerakan pasar saham Asia yang melemah signifikan menjelang penutupan akhir pekan," kata Nico, Kamis (4/3). 

Menurut Nico, pelaku pasar mencermati pergerakan dolar AS yang telah naik signifikan dalam satu pekan terakhir. Hal tersebut ikut memberikan tekanan pada pasar saham dan juga nilai tukar negara berkembang. Nico menilai penguatan dolar AS masih berpotensi berlanjut.

Dari komoditas, pelaku pasar saham merespons positif upaya OPEC+ yang memutuskan untuk tidak menaikkan produksi di tengah penurunan persediaan stok minyak Amerika. Pergerakan minyak mengalami kenaikan selama dua hari berturut-turut yang dinilai dapat berdampak pada naiknya biaya industri sehingga berpotensi akan menaikkan inflasi. 

"Tentu kita semua akan mengharapkan kenaikkan inflasi dari sisi naiknya permintaan bukan dari naiknya biaya, sehingga hal tersebut menjadikan kekhawatiran pada pelaku pasar saat ini," ujar Nico. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement