Jumat 05 Mar 2021 02:22 WIB

Wanita Muslim dan Yahudi Tulis Buku Melawan Prasangka Buruk

Tulisan melawan prasangka buruk ditulis oleh wanita Muslim dan Yahudi.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Muhammad Hafil
Wanita Muslim dan Yahudi Tulis Buku Melawan Prasangka Buruk. Foto: Islam-Yahudi/ilustrasi
Foto: news.yourolivebranch.org
Wanita Muslim dan Yahudi Tulis Buku Melawan Prasangka Buruk. Foto: Islam-Yahudi/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,WASHINGTON -- Buku "A Place at the Table" bercerita tentang dua gadis sekolah menengah, Sara dan Elizabeth, yang beragama Muslim dan Yahudi dan. Persahabatan mereka dimulai di kelas memasak Asia Selatan, yang diajarkan oleh ibu Sara.

Kedua gadis tersebut memiliki ibu yang sedang belajar untuk menjadi warga negara Amerika. Ketika gadis-gadis itu semakin akrab, mereka harus belajar untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan canggung, terbuka pada jawaban yang jujur, serta nyaman membela satu sama lain bahkan jika harus mengorbankan hubungan yang lain.

Baca Juga

Meski tampaknya Amerika sedang bergumul dengan perpecahan yang tampaknya tidak dapat diatasi, buku yang menyenangkan ini mengajarkan bahwa perbedaan tidak secara inheren berarti perselisihan.

Terlebih lagi, buku ini memberikan contoh positif bagi pembacanya tentang bagaimana mengatasi perbedaan yang sangat berbeda, yang membuat setiap orang unik.

Novel kelas ini ditulis bersama oleh Saadia Faruqi, seorang imigran dari Pakistan yang memiliki dua anak, dan Laura Shovan, seorang ibu dari dua anak dan putri seorang imigran Inggris.

Dalam wawancara dengan Kveller, dilansir di Jewish Telegraphic Agency, penulis membahas tentang pengasuhan, persekutuan, identitas, dan banyak lagi.

- Bagaimana Anda memutuskan untuk menulis buku ini bersama?

Laura : Saya punya ide bebas untuk novel kelas menengah berjudul "Ibu Warga Negara". Ini tentang seorang gadis yang ingin membantu ibunya melalui proses kewarganegaraan.

Tetapi saya menyadari, pandangan saya sebagai generasi pertama seorang Amerika tidak menyertakan pengalaman seseorang yang tidak lahir di AS. Saadia lantas menjadi pilihan pertama saya untuk menjadi mitra menulis cerita ini.

Tidak hanya dia membesarkan anak-anak yang lahir di Amerika, saya mengagumi tulisan dan aktivismenya.  Saya mengajukan ide itu kepada Saadia dan kami mulai mengembangkan karakter dan plot bersama.

Saadia : Menulis cerita tentang anak-anak generasi pertama dan pengalaman kewarganegaraan penting bagi saya, terutama karena ini adalah kisah saya sendiri. Saya menjadi warga negara AS pada 2016, beberapa bulan sebelum pemilihan presiden tahun itu. Itu adalah tonggak sejarah bagi saya dan keluarga dalam banyak hal.

- Di sepanjang buku ini, sambil menghadapi kenyataan ada orang-orang di sekitar yang secara terang-terangan anti-Muslim, Sara sendiri menunjukkan rasa malu menjadi seorang Muslim. Saadia, apakah Anda memiliki pengalaman serupa ketika Anda seusianya?

Saadia: Saya besar di Pakistan, di mana hampir semua orang adalah Muslim. Saya tidak pernah merasa terasing atau diserang dengan cara apa pun.

Hanya, ketika saya datang ke AS sebagai orang dewasa, saya melihat dunia dengan mata yang berbeda. Saya melihat rasisme, Islamofobia, xenofobia, dan banyak lagi di sekitar saya.

Saya tidak mengatakan itu tidak ada di tempat lain, tetapi saya tidak pernah menerima bebannya sampai saat itu.  Pengalaman Sara dalam buku itu lebih mencerminkan kehidupan anak-anak saya daripada kehidupan saya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement