Jumat 19 Mar 2021 15:00 WIB

LPS Minta Perbankan Hadapi Risiko Keamanan Siber

Perkembangan teknologi dan pandemi memaksa penggunaan transaksi digital.

Rep: Novita Intan/ Red: Friska Yolandha
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menyebut risiko teknologi dan keamanan siber masih menjadi ancaman bagi industri perbankan pada tahun ini. Hal ini seiring dengan semakin berkembangnya teknologi digital.
Foto: BNI
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menyebut risiko teknologi dan keamanan siber masih menjadi ancaman bagi industri perbankan pada tahun ini. Hal ini seiring dengan semakin berkembangnya teknologi digital.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menyebut risiko teknologi dan keamanan siber masih menjadi ancaman bagi industri perbankan pada tahun ini. Hal ini seiring dengan semakin berkembangnya teknologi digital.

Anggota Dewan Komisioner LPS Didik Madiyono mengatakan, perilaku konsumen selama pandemi Covid-19 mengalami pergeseran ke layanan berbasis digital. Hal yang sama juga dengan perbankan, yang lebih memanfaatkan teknologi digital dalam melayani nasabah.

Baca Juga

“Dengan perkembangan teknologi komputerisasi dan digitalisasi, model bisnis perbankan juga terus berkembang. Perkembangan teknologi ini akan mengarah pada perbankan yang lebih efisien, layanan pelanggan yang lebih baik, dan kontribusi yang lebih tinggi bagi perekonomian,” ujarnya dalam keterangan resmi, Jumat (19/3).

Meski saat ini sebagian besar perbankan sudah terdigitalisasi tetapi Didik mengingatkan potensi risiko dan tantangan yang akan dihadapi, salah satunya mengenai keamanan siber. Berdasarkan World Economic Forum (WEF) Global Risks Perception Survey 2020, salah satu ancaman potensial dalam perkembangan digital adalah ketidaksetaraan digital, termasuk keamanan siber dan risiko tingkat tinggi dalam sepuluh tahun ke depan

“Dalam jangka panjang, kita perlu bersiap menghadapi dampak buruk teknologi. Oleh karena itu, perlu disiapkan rencana penanganan risiko yang memadai, agar dapat meminimalkan dampak dari potensi risiko yang mungkin timbul tersebut,” ungkapnya.

Ke depan LPS secara intensif juga terus menyosialisasikan mandat dan fungsinya untuk menjaga kepercayaan terhadap perbankan. Pihaknya juga terus melakukan koordinasi dengan industri perbankan agar mampu mengantisipasi risiko tersebut.

Adapun dari survei WEF tersebut, sekitar 36 persen konsumen di Asia Tenggara baru menggunakan layanan digital perbankan selama pandemi. Adapun jumlah ini meningkat dua kali lipatnya dibandingkan dibandingkan sebelum pandemi sebesar 15 persen.

Sementara di Indonesia, Bank Indonesia mencatat nilai transaksi digital banking sebesar Rp 2.774,5 triliun atau meningkat 13,91 persen secara tahunan (yoy) sepanjang 2020. Sedangkan volume transaksi digital banking pada sebesar 513,7 juta transaksi atau tumbuh 41,53 persen (yoy).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement