Senin 22 Mar 2021 08:17 WIB

Penjelasan KH Cholil Nafis Soal Puasa Ramadhan Pasien Covid

KH Cholil Nafis menjelaskan soal boleh tidaknya pasien covid-19 puasa Ramadhan.

Rep: Ratna Ajeng Tejomukti/ Red: Muhammad Hafil
Penjelasan KH Cholil Nafis Soal Puasa Ramadhan Pasien Covid. Foto: KH Cholil Nafis PhD memberikan khutbah Jumat di Masjid Agung Sunda Kelapa (MASK) Jakarta, Jumat  (26/6).
Foto: Dok MASK
Penjelasan KH Cholil Nafis Soal Puasa Ramadhan Pasien Covid. Foto: KH Cholil Nafis PhD memberikan khutbah Jumat di Masjid Agung Sunda Kelapa (MASK) Jakarta, Jumat (26/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Bidang Dakwah dan Ukhuwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Muhammad Cholil Nafis mengatakan puasa Ramadhan wajib bagi setiap muslim sesuai syarat dan rukunnya.

Namun bagi mereka yang sedang menderita sakit. Sebagaimana firman Allah, Barang siapa sakit atau dalam perjalanan (kemudian tidak puasa) maka gantilah pada hari lainya

Baca Juga

(Surah Al-Baqarah 185).

Termasuk mereka yang sedang terjangkit Covid-19. Jika memang penderita virus hanya memiliki gejala ringan maka masih wajib berpuasa. Jika gejala sedang, bisa mempertimbangkan sejauhmana puasa dapat berdampak pada kesehatan.

Jika memang sanggup maka puasa wajib hukumnya, namun jika tidak dapat mengqadha di 11 bulan berikutnya. Sehingga tidak harus menunggu keterangan atau rekomendasi dari dokter.

"Demikian juga pasien yang memiliki gejala berat dan memiliki penyakit komorbid yang membahayakan jiwa maka tidak wajib berpuasa,"jelas dia kepada Republika, Ahad (21/3).

Sekjen Al Washliyah Ustaz Masyhuril Khamis sepakat bahwa seseorang yang sedang sakit memiliki keringanan untuk menunda puasanya sampai ia kembali sehat dan mampu untuk berpuasa. Sakit yang dimaksud di atas adalah semua jenis sakit yang menjadikan seseorang tidak mampu berpuasa. Termasuk seseorang yang terjangkit Covid-19.

"Mereka yang terjangkit kemudian mengalami gejala yang menjadikannya tidak mampu lagi berpuasa, maka baginya boleh membatalkan puasa pada hari itu. Akan tetapi bagi sebagian orang yang terkena virus covid, namun tidak memiliki gejala, atau hanya gejala ringan saja, maka keringanan tidak berpuasa tidak berlaku padanya,"jelas dia.

Namun batasan sakit yang membolehkan untuk tidak berpuasa bisa dikembalikan kepada dokter yang kompeten. Sehingga sebaiknya penderita Covid-19 berkonsultasi kepada dokter terlebih dahulu.

Dalam buku fikih Mereka yang Boleh Tidak Puasa Ramadhan tulisan Ahmad Hilmi dijelaskan bahwa ulama sepakat bahwa sakit adalah salah satu sebab dibolehkannya tidak berpuasa pada bulan Ramadhan.

Hanya saja para Ulama fiqih berbeda pendapat tentang kriteria sakit tersebut, semua sakit atau hanya sakit tertentu saja.

Secara umum, ulama tidak mengalami

perbedaan pendapat yang signifikan terkait penentuan kriteria sakit yang membolehkan seseorang tidak berpuasa Ramadhan.

Penyakit yang dimaksud adalah penyakit yang akan bertambah buruk atau lambat kesembuhannya atau juga semakin parah jika puasa dilakukan. Namun jika puasa tidak memberi pengaruh negatif terhadap penyakit yang diderita, maka puasa tetap wajib dilakukan.

Berikut empat pendapat mahzab mengenai kriteria orang sakit yang boleh tidak berpuasa. Mahzab Hanafi menjelaskan bahwa ketika seseorang dalam satu kondisi tertentu dibolehkan sholat fardhu dengan duduk, maka itu juga dijadikan patokan boleh tidak puasa. Sedangkan kebolehan secara mutlak, bahkan sampai derajat wajib tidak puasa, adalah ketika puasa dikhawatirkan menyebabkan kematian.

Imam Malik mengatakan, boleh tidak puasa karena adanya penyakit yang dikhawatirkan akan semakin bertambah atau semakin buruk, melalui diagnosa dokter, atau pengalaman, jika puasa tetap dilakukan. Bahkan ketika puasa tersebut bisa menyebabkan kematian,maka tidak puasa menjadi wajib. Puasa tidak boleh ditinggalkan karena tidak ada kesulitan apapun bahkan tidak ada unsur yang membahayakan jika tetap berpuasa.

Sedangkan madzhab Syafi'i yang juga dibahas oleh Imam An-Nawawi, bahwa hanya sekedar sakit tidak lantas menjadikan rukhsah bolehnya tidak puasa. Sakit yang ringan tidak ada unsur sulit dan berat yang jelas-jelas nampak dan dirasakan, maka harus tetap puasa. Menurut An-Nawawi, pendapat ini bersebrangan dengan Dhahiriyah yang menjadikan semua sakit secara mutlak sebagai kebolehan tidak puasa.

Mahzab Hanbali, Imam ibnu Qudamah di dalam kitabnya Al-Mughni mengatakan tentang kriteria penyakit yang menjadi faktor bolehnya tidak berpuasa adalah sakit yang menjadi parah atau penyembuhannya lambat dengan dilaksanakannya puasa, sakit yang membolehkan tidak berpuasa adalah

sakit yang dengan puasa akan semakin parah, atau dikhawatirkan kesembuhannya terlambat.

Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa penyakit itu berbeda-beda. Ada yang dengan berpuasa menjadi berbahaya, ada juga yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan puasa, sakit gigi, luka di jari dan sebagainya.

Imam Ahmad ibnu Hanbal pernah ditanya tentang kriteria sakit boleh tidak berpuasa Ramadhan. Beliau menjawab, yang penting si pasien belum bisa puasa. Apakah seperti demam? Beliau mengatakan, adakah penyakit yang lebih parah dari demam.

Dari pendapat di atas bisa ditarik kesimpulan bahwa, apa pun penyakitnya, asalkan ada pengaruh negatif atau efek samping dengan dilaksanaknnya puasa, maka dia boleh berbuka.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement