Sabtu 27 Mar 2021 18:55 WIB

Penderita Masalah Mental Boleh Cerita ke Orang Dipercaya

Psikolog menilai masalah mental sebenarnya bukan sesuatu memalukan untuk diceritakan

Red: Yudha Manggala P Putra
Studi ini juga menemukan bahwa wanita muda berusia antara 18 dan 30 yang mengalami seksisme kemungkinan besar melaporkan masalah kesehatan mental empat tahun kemudian.
Foto: Pixabay
Studi ini juga menemukan bahwa wanita muda berusia antara 18 dan 30 yang mengalami seksisme kemungkinan besar melaporkan masalah kesehatan mental empat tahun kemudian.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Psikolog klinis dewasa dari Universitas Indonesia (UI), Mega Tala Harimukthi, mengatakan, seseorang boleh-boleh saja menceritakan masalah kesehatan mentalnya kepada orang lain yang ia percaya.

"Boleh kok menceritakan ke orang lain yang dipercaya dan yang mereka nyaman ya. Biasanya sih enggak mudah juga buat mereka mau dan bisa terbuka ya," ujar dia menjawab pertanyaan Antara, dikutip Sabtu (27/3).

Hal senada diungkapkan psikolog klinis dewasa dari Yayasan Pulih, Nirmala Ika. Dia menuturkan, masalah mental misalnya depresi bukan sesuatu yang memalukan untuk diceritakan kepada orang lain. Apalagi bila cerita yang disampaikan sebenarnya bisa membantu banyak orang untuk juga memahami kondisi penderita, maka mengapa tidak?

"Banyak klien-klien saya akhirnya bisa membantu teman-temannya untuk menyadari mereka memiliki masalah emosional dan mulai mencari bantuan sehingga mereka dapat menjalani kehidupan dengan lebih baik," tutur Ika saat dihubungi dalam kesempatan terpisah.

Selain itu, menceritakan gangguan mental yang dihadapi sebenarnya bisa menjadi cara untuk menunjukkan bahwa penderita butuh support system lingkungan atau sekedar menunjukkan ia sedang depresi, namun bisa kembali memiliki kehidupan normal seperti orang pada umumnya.

"Alasan lainnya dia mau menunjukkan bahwa struggle is real jadi walaupun pernah depresi mereka bisa kembali punya kehidupan normal. Apalagi kalau masa-masa gelapnya sudah lewat ya," kata Tala.

Di lain sisi, tak menutup kemungkinan seseorang dengan masalah mental meminta belas kasih orang-orang tertentu yang dia harapkan hadir dalam hidupnya. Tetapi ini tergantung masing-masing individu.

Tala mengatakan, mereka yang tergolong generasi Z cenderung mencari bantuan lebih cepat dan mampu mencari informasi terkait kondisi dirinya melalui sumber-sumber kesehatan di media.

Hanya saja, Tala mengingatkan untuk berhati-hati memilih orang untuk "dicurhati", agar tidak justru berakhir dengan dia menyepelekan masalah mental penderita dan memicu kekambuhan kondisi yang sebetulnya sudah membaik.

"Biasanya kan orang akan mudah bercerita saat dia merasa nyaman dengan lawan bicaranya ya. Apalagi untuk masalah kesehatan mental. Saat dia cerita pasti dia menyelipkan harapan agar lawan bicaranya bisa memahami kondisi dia," kata Tala.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement