Jumat 16 Apr 2021 23:20 WIB

Anggota DPR: Utang Luar Negeri Indonesia Tetap Terkendali

Terdapat tiga rasio untuk mengukur utang suatu negara dikatakan over borrowing.

Red: Agus Yulianto
Kamrussamad anggota Komisi Keuangan dam ekonomi DPR RI.
Foto: Istimewa
Kamrussamad anggota Komisi Keuangan dam ekonomi DPR RI.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada Februari 2021 tetap terkendali. Posisi ULN Indonesia pada akhir Februari 2021 sebesar 422,6 miliar dolar AS atau tumbuh 4,0 persen (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada bulan sebelumnya sebesar 2,7 persen (yoy). Peningkatan pertumbuhan ULN tersebut didorong oleh ULN Pemerintah dan ULN swasta.

Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Gerindra Kamrussamad mengatakan, terdapat tiga rasio untuk mengukur utang suatu negara dikatakan over borrowing atau lower borrowing. Ketiganya yaitu debt service ratio (DSR). DSR ini merupakan rasio pembayaran bunga dan cicilan utang terhadap penerimaan ekspor dengan batas aman sebesar 20 persen.

Kedua, debt export ratio (DER), merupakan rasio total ULN dengan penerimaan ekspor dengan batas aman sebesar 200 persen. dan Ketuga, DGDP (Debt to GDP ratio), merupakan rasio antara total ULN terhadap PDB dengan batas aman 40 persen.

Berdasarkan data Februari 2021, kata Kamrussamad, DGDP ratio sebesar 39,7 persen, sedangkan data mengenai DSR dan DER masing-masing sebesar 27,86 persen dan 215.4 persen pada IV-2020. 

"Hal tersebut menunjukkan bahwa Indonesia mengalami over borrowing ketika dilihat dari indikator DSR dan DER. Sedangkan dengan indikator DGDP, nilai hampir melebihi batas aman sehingga diperlukan manajemen utang dengan hati-hati dan terstruktur," ujar dia dalam keterangannya yang diterima Republika.co.id, Jumat (16/4).

Dikatakan Kamrussamad, pemerintah dapat menjalan strategi dalam melakukan manajemen utang. Seperti, mendapatkan sumber pendanaan dengan biaya yang murah, meminimalkan risiko terkait portofolio utang, dan mendukung pengembangan pasar.

Nemun demikian, kata dia, perlu pedoman arah kebijakan menyangkut, pengurangan pinjaman valas secara gradual dan terencana. Selain itu, fokus pada pinjaman domestik dengan jatuh tempo jangka menengah dan panjang.

Penerbitan SPN (Treasury bills dengan jatuh tempo 12 bulan) hanya untuk manajemen kas dan tidak untuk menutup defisit atau refinancing utang yang masih ada. Fokus pada suku bunga tetap untuk pinjaman baru, serta obligasi internasional hanya diterbitkan untuk membiayai kewajiban dalam valas, memperkuat cadangan devisa, dan menghindari crowding out pasar obligasi domestik.

"Utang merupakan konsekuensi belanja negara yang ekspansif. Dengan adanya pandemi Covid-19, maka pemerintah meningkatkan pengeluarannya untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional baik dari segi sosial, ekonomi maupun kesehatan," ujarnya. 

Selain itu, dengan kondisi yang dialami saat ini, pemerintah harus memanfaatkan momentum ini untuk dapat kembali bersaing dan menghindari opportunity loss melalui strategi-strategi kebijakan yang akan dilaksanakan.

"Melalui perdebatan yang muncul akibat adu argument terkait perbandingan besaran utang negara, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana strategi efektif yang dapat ditempuh agar ekonomi dapat lekas pulih kembali, bukan malah 'tawuran' argumen yang dapat memicu hambatnya pemulihan ekonomi," tandasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement