Senin 19 Apr 2021 09:51 WIB

Eks-Capres Mesir Serukan Perang atas Sengketa Bendungan Nil

Ada ancaman yakni bagian Mesir dari air Sungai Nil terputus oleh bendungan.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Nur Aini
Pembangunan Bendungan Grand Renaissance (Bendungan Hidase) di Sungai Nil Biru di wilayah barat Benishangul-Gumuz, Ethiopia pada 6 Desember 2014. Bendungan tersebut akan menjadi pembangkit listrik tenaga air terbesar di Afrika dengan perkiraan biaya $ 4,8 miliar USD.
Foto: Anadolu Agency
Pembangunan Bendungan Grand Renaissance (Bendungan Hidase) di Sungai Nil Biru di wilayah barat Benishangul-Gumuz, Ethiopia pada 6 Desember 2014. Bendungan tersebut akan menjadi pembangkit listrik tenaga air terbesar di Afrika dengan perkiraan biaya $ 4,8 miliar USD.

REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Mantan calon presiden Mesir, Hamdeen Sabahi meminta pemerintah Mesir mempersiapkan perang yang adil melawan Ethiopia, Ahad (18/4) waktu setempat. Komentarnya muncul menyusul kegagalan perundingan menyoal Grand Ethiopian Renaissance Dam.

Dalam sebuah unggahan di Facebook, Hamdeen Sabahi menyerukan rencana mendesak dalam mempersiapkan rakyat untuk perang, dan memastikan persatuan nasional. Sebab jika tidak, ada ancaman yakni bagian Mesir dari air Sungai Nil terputus oleh bendungan.

Baca Juga

"Persatuan dapat dikonsolidasikan antara rakyat, tentara, dan oposisi melalui pembebasan tahanan hati nurani segera. Ini akan menyembuhkan luka internal untuk menghadapi ancaman eksternal," ujar Sabahi dikutip laman Middle East Monitor, Senin (19/4).

Sabahi membeberkan, setelah sepuluh tahun gagal bernegosiasi, hanya ada kurang dari 80 hari tersisa untuk menyelamatkan Mesir sebelum pengisian kedua waduk Renaissance Dam. "Itu adalah ancaman eksistensial bagi Mesir, rakyat, dan negara. Kemenangan adalah satu-satunya pilihan; tidak ada alternatif," katanya.

Dia menggunakan jabatannya untuk memaparkan visinya dalam menghadapi krisis secara langsung. Menurutnya, jalan tersebut akan dimulai dengan pengumuman oleh pemerintah bahwa tidak akan ada negosiasi lebih lanjut, kecuali Ethiopia menghentikan semua pekerjaan konstruksi di bendungan itu. Dia menambahkan, bahwa semua komitmen yang membebani Mesir harus dicabut oleh DPR di Kairo.

"Kemudian Mesir harus membawa masalah ini menjadi perhatian Dewan Keamanan dan Majelis Umum PBB untuk meminta pertanggungjawaban komunitas internasional atas kemungkinan genosida Mesir dan negara mereka, dan ancaman selanjutnya terhadap perdamaian dan keamanan internasional," ujar dia.

Sabahi menegaskan, bahwa perjanjian Anglo-Ethiopia 1902 harus tetap menjadi dasar kedudukan hukum Mesir yang bersejarah sebagai mitra dalam pengelolaan Sungai Nil dan airnya. "Rakyat Mesir harus mendapatkan bagian air mereka dari Sungai Nil, yang ditetapkan minimal 55,5 miliar meter kubik seperti yang dikonfirmasi oleh perjanjian, serta bagian yang adil negara mereka dari proyek pembangunan bersama di sepanjang lembah sungai," tuturnya.

Dengan pemikiran ini, ia menyimpulkan, kemitraan Mesir dan Sudan dalam pengelolaan permanen Bendungan Renaisans adalah alami dan tidak dapat dikesampingkan. Hal tersebut pun juga berarti menentukan kerangka waktu pengisian waduk dan cara pengoperasian bendungan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement