Selasa 20 Apr 2021 06:32 WIB

Perjalanan Ekstrem Melintasi Tujuh Negara Asia

Kami harus lewat jalan darat dengan dana minim, Rp 1,5 juta untuk menempuh 7.750 km.

Red: Endro Yuwanto
Berpose di perbatasan Kamboja.
Foto:

Oleh : Rusdy Nurdiansyah/Jurnalis Republika

***

Kota Siem Reap memiliki pesona candi yang beragam. Salah satu candi yang terbesar di dunia dan masuk dalam tujuh keajaiban dunia, yakni Candi Angkor Wat.

Berdasarkan catatan sejarah, Candi Angkor Wat dibangun oleh Raja Suryawarman II pada awal abad ke-12. Pada awal dibangunnya, Angkor Wat merupakan candi Hindu, namun berubah menjadi candi Buddha pada akhir abad ke-12. Angkor Wat merupakan sebuah gugus bangunan candi yang berdiri di atas situs seluas 1.626.000 m2 (162,6 hektare).

Selama dua hari kami berada di Siem Reap, kami juga mengunjungi bunker-bunker bekas perang dan ladang pembataian dengan ratusan tengkorak manusia yang terpajang rapi.

Ladang pembantaian tersebut pernah dijadikan film bertajuk The Killing Fields yang diangkat dari kisah nyata seorang wartawan Amerika Serikat (AS) yang sedang meliput perang saudara di Kamboja pada 1975. Hampir dua juta penduduk tewas di sebuah tanah kosong yang lebih dikenal dengan istilah ladang pembantaian.

Kami kemudian melanjutkan perjalanan ke ibu kota Kamboja, Phnom Penh. Tidak ada hambatan berarti selama menempuh perjalanan enam jam dengan menggunakan bus bertarif 10 dolar AS per orang atau sekitar Rp 100 ribu. Yang sedikit berbeda adalah pengalaman naik bus dengan jalur berada di sebelah kanan, berbeda dengan di Indonesia dan Thailand.

Tiba di Kota Phnom Penh jelang malam, suasana kota lengang dan sepi. Phnom Penh terletak di depan Sungai Mekong, yang merupakan sungai utama di Asia dengan panjang 4.200 km (2.610 mil). Phnom Penh menjadi pusat industri kegiatan perekonomian, serta pusat keamanan, politik, ekonomi, warisan budaya, dan Pemerintahan Kamboja.

Kota berpenduduk 1 juta jiwa ini juga terkenal karena arsitektur yang indah, sejarah, dan atraksi kebudayaannya. Ada sejumlah bangunan kolonial Prancis yang tersebar di sepanjang jalan-jalan utama.

Setelah sehari semalam di Phnom Penh, kami melanjutkan perjalanan ke negara tetangga Kamboja, yakni Vietnam. Perjalanan menggunakan bus dengan biaya 15 dolar AS per orang atau sekitar Rp 150 ribu. Perjalanan ditempuh selama enam jam menuju Kota Ho Chi Minh atau yang dulunya disebut juga dengan nama Saigon yang terletak di Vietnam Selatan.

Pada sore hari, kami tiba di kawasan Bavet yang merupakan kawasan perbatasan Kamboja dan Vietnam. Semua penumpang turun untuk melakukan proses imigrasi yang cukup lancar pelayanannya. Hanya berbaris antre di depan counter, lalu paspor dicap, dan langsung menuju keluar.

Pelayanan juga cukup lancar saat mengurus proses imigrasi di Kantor Imigrasi Vietnam yang cukup megah dibandingkan Kantor Imigrasi Kamboja. Kami disambut dengan tugu selamat datang Vietnam dengan pilar-pilar gerbang yang kokoh dan megah di kawasan Moc Bai. Tampak puluhan backpacker pria dan wanita dari berbagai negara, seperti Jepang, AS, dan Eropa duduk-duduk berisitirahat di taman pintu gerbang Moc Bai.

Perjalanan pun dilanjutkan ke Kota Ho Chi Minh. Mulai terlihat jelas perbedaan pembangunan di kedua negara. Jalan mulus beraspal membuat perjalanan bus dipacu kencang dengan cukup nyaman, yang sangat kontras dengan perjalanan selama di Kamboja, jalan tak sepenuhnya beraspal dan berdebu.

Malam merayap pelan, kami tiba di Kota Ho Chi Minh. Dibandingkan Kota Phnom Penh, Kota Ho Chi Minh terlihat lebih mentereng dan ramai di gemerlap sinar lampu jalan. Cukup banyak gedung-gedung menjulang tinggi dengan sedikit kesemrawutan lalu-lintas dengan beragam kendaraan mobil dan motor.

Kami menginap di salah satu hostel di kawasan backpacker di Bui Vien Street dengan pembayaran menggunakan mata uang Vietnam, dong, dengan harga kira-kira Rp 50 ribu per orang per satu tempat tidur.

Kawasan hostel di Bui Vien Street menjadi titik poin (checkpoint) para peserta program acara Extreme Journey. Ada 21 orang peserta yang mengikuti acara tersebut hingga finis di kotanya Dalai Lama, Tibet, yang berada di wilayah kekuasaan China. Tibet yang dijuluki sebagai Negeri Atap Langit terkenal dengan pegunungan tertinggi di dunia, Himalaya.

Peserta yang keluar sebagai pemenang akan mendapatkan hadiah utama Mobil Ford dan sejumlah uang. Pemenangnya ditentukan dari kecepatan dan penggunaaan uang yang pas sebesar Rp 1,5 juta saat tiba di Tibet.

"Kemampuan dalam menyiasati keterbatasan dana saat bepergian jauh menjadi inti permainan di sebuah tayangan reality show bertajuk Extreme Journey. Intinya, setiap peserta permainan ini harus dapat menjelajahi tujuh negara, dari Indonesia ke Malaysia, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam, hingga Tibet China," ujar konsultan kreatif Extreme Journey, Eelco Koudjis.

Semuanya harus ditempuh lewat darat dan tentunya dengan dana minim, Rp 1,5 juta, untuk menempuh 7.750 kilometer. "Siapa yang tercepat mencapai negara tujuan, dialah si pemenang," tegas Eelco.

Menurut Eelco, kesulitan permainan ini tidak sebatas menyiasati keterbatasan dana, tapi juga bagaimana memahami budaya masyarakat setempat. Ini penting buat para backpacker--pelancong dengan ransel besar-dalam menyiasati keterbatasan tadi. "Setiap budaya memiliki nilai dan cara sendiri melihat pendatang. Bukan hanya budaya, keterbatasan berbahasa menjadi kendala yang tidak kalah sulit," jelasnya.

Lanjut Eelco, soal keterbatasan dana, sebenarnya dapat disiasati. Peserta dapat saja menginap di rumah penduduk, kantor polisi pariwisata, atau kuil yang jumlahnya ratusan di sepanjang rute. Untuk menempuh jarak jauh, peserta pun dapat menumpang kendaraan atau mencari alat transportasi alternatif yang murah.

"Menumpang kendaraan dan melobi petugas terminal bus agar memberikan potongan harga tiket menjadi cara jitu mengatasi keterbatasan dana. Berjalan berkilometer-kilometer, menginap di kuil, dan berdiri berjam-jam di ruas jalan adalah pola mudah dan murah untuk sampai di kota tujuan. Keberanian, mental yang kuat, memiliki endurarance.(daya tahan) fisik menjadi harga mati selama perjalanan," tegas Eelco.

Konflik dan ketegangan untuk menjadi yang tercepat dengan uang pas-pasan menjadi pengalaman-pengalaman lucu, unik. serta menegangkan. Ini menjadi tayangan yang menarik dari Extreme Journey. Dan, di akhir perjalanan, aku gagal mencapai yang tercepat tiba di Tibet.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement