Senin 26 Apr 2021 10:40 WIB

Jangan Sampai yang Kaya Terus Mendominasi

Sepak bola menjadi medan laga yang melibatkan banyak kepentingan terutama finansial.

Red: Endro Yuwanto
Logo Liga Champions.
Foto: aa.com.tr
Logo Liga Champions.

Oleh : Endro Yuwanto/Jurnalis Republika

REPUBLIKA.CO.ID,  Gelimpangan uang. Itulah yang sempat terbesit di kepala saat saya mengamati komposisi klub yang akan tampil di laga semifinal Liga Champions musim 2020/2021 yang digelar mulai pekan ini. Laga empat besar kompetisi terbesar antarklub Eropa itu akan mempertemukan Real Madrid, Chelsea, Paris Saint-Germain (PSG), dan Manchester City.

Sudah sejak beberapa dekade silam, Real Madrid adalah klub raksasa nan kaya raya. Dengan dana yang melimpah dari dulu Madrid selalu mampu membeli pemain-pemain terbaik dan juru taktik terbaik di dunia. Imbasnya, Madrid begitu mendominasi jagat sepak bola dunia. Sejauh yang saya tahu sejak mengikuti perkembangan sepak bola pada era 1980-an, klub-klub yang mengimbangi Madrid secara prestasi dan finansial adalah Barcelona, Manchester United, Bayern Muenchen, Liverpool, AC Milan, dan Juventus.

Sejak awal 2000-an, tak hanya klub-klub yang saya sebutkan di atas yang mendominasi dengan uang-uangnya. Klub-klub lain juga berlomba-lomba menjadi kaya.

Chelsea mendapatkan suntikan dana yang besar sejak diambil alih oleh miliarder Rusia Roman Abramovich pada 2003. Abramovich memiliki kekayaan sebesar 8,5 miliar poundsterling setara Rp 159 triliun. Selama kekuasaannya hingga saat ini, Chelsea menjadi klub yang tidak segan-segan membeli satu pemain dengan harga sangat mahal. Termasuk bongkar pasang pelatih yang mumpuni. Tampil di Liga Champions tiap tahun seperti menjadi harga mati bagi the Blues.

PSG pun berubah sejak kedatangan Nasser Al-Khelaifi, pemilik dari Qatar Sports Investments (QSi) pada 2011. PSG menjelma sebagai salah satu klub yang kaya raya. Le Perisien hingga kini dengan mudah membeli siapa pun pemain termahal di dunia hingga mendominasi Ligue 1 Prancis dan langganan tampil di Liga Champions.

Beralih ke Man City yang sejak 2008 menjadi milik miliarder asal Uni Emirat Arab, Sheikh Mansour. Ia menjadi yang nomor satu untuk urusan kekayaan di Liga Primer Inggris. Bahkan kekayaan yang dimilikinya hampir tiga kali lipat dari Abramovich. Sheikh Mansour memiliki kekayaan sebesar 23,3 miliar poundsterling atau sebesar Rp 439 triliun.

Sejak didanai Sheikh Mansour, Man City kian gampang membeli pemain bintang dan pelatih-pelatih top. Sama seperti PSG, Man City kini mendominasi Liga Primer Inggris dan langganan tampil di Liga Champions.

Bagi saya, adalah wajar bila empat klub itu, Real Madrid, Chelsea, Man City, dan PSG, musim ini lolos ke semifinal Liga Champions. Bukan sesuatu yang mengejutkan.

Pun saat pekan lalu para semifinalis Liga Champions itu memilih bergabung dalam Liga Super Eropa/European Super League (ESL). Mereka bergabung dengan klub kaya lainnya, AC Milan, Arsenal, Atletico Madrid, Barcelona, Inter Milan, Juventus, Liverpool, Manchester United, dan Tottenham Hotspur. Bagi saya juga tak mengejutkan. Sudah menjadi rahasia umum. Penggabungan klub-klub itu tak jauh-jauh dari urusan finansial. Urusan uang.

Salah satu penyulut pembentukan Liga Super Eropa adalah kerugian finansial 12 klub kaya itu pada musim lalu yang disebabkan oleh pandemi virus corona. Total kerugian dari 12 klub pendiri Liga Super Eropa pada musim 2019/2020 mencapai 1,2 triliun poundsterling. Tidak hanya itu, 12 klub pendiri Liga Super Eropa juga tercatat memiliki banyak utang dengan total kolektif mencapai 5,6 miliar poundsterling atau sekitar Rp 112,7 triliun.

Dalam rilis resmi Liga Super Eropa, 12 klub pendiri dipastikan akan mendapat uang sebesar 3,5 miliar dolar euro atau sekitar Rp 61,1 triliun hanya lantaran komitmen untuk mengikuti ESL. Perusahaan asal Amerika Serikat, JP Morgan, dikabarkan menjadi pendukung utama Liga Super Eropa dari segi finansial.

Makin jelas deklarasi 12 klub pendiri ESL yang akhirnya ditolak banyak pihak itu itu tak jauh dari soal uang. Saya juga setuju dengan para suporter tim-tim Eropa yang menilai ESL hanya ditujukan untuk membuat klub yang sudah kaya menjadi lebih kaya. Sehingga muncul anggapan bahwa 12 klub pendiri Liga Super Eropa tak lagi memikirkan sepak bola dan suporter melainkan hanya ingin meraup keuntungan sebanyak-banyaknya.

Saya pun merasa olah raga khususnya sepak bola kini sudah kian menjauh dari sisi sportivitas. Bukan sekadar menang dan kalah, bukan lagi sekadar persoalan bagaimana melahirkan tubuh dan jiwa yang sehat. Atau bukan semata-mata media relaksasi.

Di sepak bola, begitu banyak jumlah uang yang dipertaruhkan. Sepak bola menjadi medan pertarungan yang melibatkan begitu banyak kepentingan, terutama perebutan kekuasaan dan dominasi modal. Ia telah menjadi industri. Setiap pun pemain dihargai sesuai kemampuannya menggocek bola. Pemain hanyalah pion-pion yang menggerakkan roda industri sepak bola. Pion-pion itu tentu akan sangat mudah disingkirkan jika dinilai sudah tak bisa mengeruk uang. Mengkhawatirkan.

Jika melihat komposisi tim semifinal Liga Champions musim ini dan deklarasi Liga Super Eropa, maka kekhawatiran saya, para suporter, dan siapa saja penikmat sepak bola bahwa pada masa mendatang sepak bola hanya akan dikuasai oleh segelintir elite dan menutup peluang klub lain untuk berprestasi bisa saja kian terbukti. Justru ini yang menurut saya membuat sepak bola menjadi tak menarik lagi. Siapa yang kaya dia yang berjaya. Siapa yang mapan secara finansial dia yang mendominasi.

Saya tentu tidak menentang uang dalam sepak bola. Namun, prinsip utama sepak bola adalah persaingan yang adil. Bahkan terkadang sepak bola adalah juga pelampiasan pihak yang selalu berada di level bawah, yang selalu diremehkan, yang selalu dipinggirkan untuk mendobrak dominasi kalangan kelas atas tertentu. Prinsip itu membuat klub seperti Leicester City bisa juara Liga Primer Inggris 2015/2016 dan lolos ke Liga Champions.

Bukankah sepak bola selama ini jauh lebih menarik dan menjadi pergunjingan hebat ketika klub raksasa, elite, dan dominan disingkirkan klub-klub gurem? Bandingkan jika setiap tahun kita selalu disuguhkan laga klub-klub kaya, itu-itu saja. Tak ada kejutan. Hambar. Seperti memasak tanpa garam.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement