Rabu 28 Apr 2021 05:13 WIB

Menu Sahur Sukarno-Hatta di Malam Perumusan Teks Proklamasi

Teks proklamasi dirumuskan dan disusun pada malam 9 Ramadhan 1346 Hijriyah.

Red: Karta Raharja Ucu
Bung Karno dan Bung Hatta pada peristiwa pembacaan teks proklamasi pada Jumat, pukul 10.00 pagi, pada 17 Agustus 1945, di Jl Pegangsaan Timur, Jakarta.
Foto: Arsip nasional
Bung Karno dan Bung Hatta pada peristiwa pembacaan teks proklamasi pada Jumat, pukul 10.00 pagi, pada 17 Agustus 1945, di Jl Pegangsaan Timur, Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, Tanggal 9 Ramadhan 1346 Hijriyah atau 76 tahun lalu dalam perhitungan tahun Hijriyah, ruang makan rumah Laksamana Tadashi Maeda riuh rendah. Di rumah itu sedang dilakukan perumusan teks proklamasi yang menentukan masa depan bangsa Indonesia sebagai sebuah negara merdeka. Dini hari itu, 17 Agustus 1945.

Teks proklamasi dalam bentuk tulisan tangan dan ketikan itu adalah buah pikiran tiga tokoh nasional: Sukarno, Mohammad Hatta, dan Achmad Soebardjo. Sukarno menulis tangan, Sayuti Melik yang mengetik.

Naskah proklamasi yang dalam bentuk tulisan tangan sempat terabaikan dan dibuang di keranjang sampah. Beruntung Burhanuddin Muhammad Diah mengambil kertas teks proklamasi dan menyimpan selama hampir 47 tahun sebelum menyerahkannya kepada negara pada 1992. Hingga kini, naskah teks proklamasi masih tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia.

photo
Petugas mengambil dokumen naskah kosep teks proklamasi di Gedung Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Jakarta, Ahad (16/8/2020). - (Antara/Galih Pradipta)

Setelah konsep teks proklamasi disetujui, Sukarno memerintahkan Sayuti Melik mengetik naskah. Namun, karena tidak ada mesin ketik di rumah Laksamada Maeda, anak buah Laksamana, Satsuki Mishima, diminta meminjam ke kantor perwakilan militer Jepang. Setelahnya kita tahu, setelah naskah itu selesai, Sukarno didampingi Hatta membacakan teks proklamasi sebagai penanda Indonesia sudah lepas dari penjajahan.

Namun, ada sedikit cerita yang luput yang tidak ada dalam buku-buku sejarah sekolah. Peristiwa proklamasi itu terjadi pada bulan Ramadhan. Saat itu, tentu para tokoh nasional yang beragama Islam dan berkumpul di rumah Laksama Maeda akan berpuasa, termasuk Sukarno dan Hatta.

Baca juga : Apa Hakikat Berpuasa di Bulan Ramadhan? (Part 1)

Di sela-sela pembahasan teks proklamasi, setelah semalam suntuk berembuk, dini hari adalah waktunya makan sahur. Dalam buku berjudul Sekitar Proklamasi (1969), Muhammad Hatta mengisahkan sebelum pulang ke rumahnya, Hatta sempat menyantap roti, telur, dan ikan sarden yang dimasak di rumah Maeda sebagai menu sahur.

photo
Pengunjung berada di dekat patung Sukarno, Mohammad Hatta, dan Ahmad Soebardjo di ruang pengesahan naskah Proklamasi di Museum Perumusan Naskah Proklamasi di Jalan Imam Bonjol, Jakarta. - (Antara/Aprillio Akbar)

Satsuki Mishima, anak buah Laksamana Maeda yang diminta meminjam mesik ketik, adalah satu-satunya perempuan malam itu. Ia juga yang menjadi koki makan sahur. Menu yang disiapkan pun sederhana. Mishima diminta membuatkan makanan sejuta umat Indonesia, nasi goreng sebagai makanan sahur Bung Karno, Bung Hatta, dan Achmad Subardjo.

Wanita ini pula, yang kemudian diminta membuatkan nasi goreng untuk sahur Bung Karno, Bung Hatta, dan Achmad Soebardjo. Meski akhirnya Bung Karno hari itu dikabarkan tidak berpuasa lantaran terkena malaria.

Pada bulan mulia itu, Indonesia merdeka. Beritanya tersebar ke seluruh negeri lewat RRI. Sedikit banyak puasa hari itu bisa dilewati berkat menu sederhana.

photo
Sukarno berdoa setelah membacakan teks proklamasi sebagai tanda Indonesia sudah merdeka. - (IST)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement