Senin 03 May 2021 07:24 WIB

Ciri-Ciri Muslim yang Mencintai Rasulullah SAW

Cinta kepada Rasulullah SAW indikator iman seorang Muslim

Rep: Imas Damayanti/ Red: Nashih Nashrullah
Cinta kepada Rasulullah SAW indikator iman seorang Muslim. Rasulullah SAW. Ilustrasi
Foto: Republika/Kurnia Fakhrini
Cinta kepada Rasulullah SAW indikator iman seorang Muslim. Rasulullah SAW. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Terdapat banyak Muslim yang sering kali mengaku mencintai Rasulullah SAW, namun tindakannya justru tak mencerminkan ajaran Nabi. Lantas seperti apa ciri Muslim yang mencintai Rasulullah itu?

Syekh Aidh Al Qarni dalam buku "Sentuhan Spiritual" menjelaskan, orang Muslim yang mengaku sebagai kalangan Ahlu Sunnah sudah pasti taat dan patuh kepada ajaran Nabi Muhammad SAW. Sedangkan orang yang hanya mengaku mencintai Nabi, kata Syekh Aidh Al-Qarni, biasanya kerap berlaku inkonsisten, tanpa ibadah, tanpa adab, dan jauh dari kekhusyukan.

Baca Juga

Dalam kisah-kisah terdahulu, golongan umat Yahudi yang mengaku telah mencintai Allah SWT, namun mereka tidak taat kepada Nabinya. Mereka semua mendapat teguran keras dari Allah, dan bahkan Alquran mengabadikan sikap mereka dalam surat Ali Imran ayat 31. Allah SWT berfirman:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ “Qul in kuntum tuhibbunallaha fattabi’uniy yuhbibkumullahu wa yaghfir lakum dzunubakum wallahu ghafurun rahim.” 

Yang artinya: “Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu’. Allah Mahapengampun lagi Mahapenyayang.”

Sehingga, dijelaskan, di antara kecintaan seorang hamba kepada Rasulullah adalah taat kepada sunahnya. Kemudian mengukitu jalan yang ditunjukkan Nabi, dan melaju dalam petunjuknya.

Syekh Aidh Al Qarni mengingatkan, barangsiapa yang tidak mengikuti sunahnya baik itu secara ucapan, perbuatan, perlakuan, lahir maupun batin, itulah yang disebut sebagai sebesar-besarnya pendusta. Naudzubillah. 

Baca juga : UAS Hadiahkan Pesantren untuk Sang Istri? Ini Faktanya

Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
قَالَ يٰقَوْمِ اَرَءَيْتُمْ اِنْ كُنْتُ عَلٰى بَيِّنَةٍ مِّنْ رَّبِّيْ وَرَزَقَنِيْ مِنْهُ رِزْقًا حَسَنًا وَّمَآ اُرِيْدُ اَنْ اُخَالِفَكُمْ اِلٰى مَآ اَنْهٰىكُمْ عَنْهُ ۗاِنْ اُرِيْدُ اِلَّا الْاِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُۗ وَمَا تَوْفِيْقِيْٓ اِلَّا بِاللّٰهِ ۗعَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَاِلَيْهِ اُنِيْبُ
Dia (Syuaib) berkata, “Wahai kaumku! Terangkan padaku jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan aku dianugerahi-Nya rezeki yang baik (pantaskah aku menyalahi perintah-Nya)? Aku tidak bermaksud menyalahi kamu terhadap apa yang aku larang darinya. Aku hanya bermaksud (mendatangkan) perbaikan selama aku masih sanggup. Dan petunjuk yang aku ikuti hanya dari Allah. Kepada-Nya aku bertawakal dan kepada-Nya (pula) aku kembali.

(QS. Hud ayat 88)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement