Makna Bekas Sujud Menurut Pandangan Ulama Tasawuf

Red: Nashih Nashrullah

Jumat 07 May 2021 05:58 WIB

Makna bekas sujud dalam surat Al Fath 29 bukan jidat hitam. Bersujud (ilustrasi). Foto: Reuters Makna bekas sujud dalam surat Al Fath 29 bukan jidat hitam. Bersujud (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Beragam pendapat tentang makna atsar sujud sebagai mana diungkapkan dalam ayat: 

مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ ۚ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ ۖ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا ۖ سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ۚ ذَٰلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ ۚ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَىٰ عَلَىٰ سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ ۗ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا

"Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud.

Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar." (QS Al Fath 29).

Ada ulama yang mengartikan secara fisik ada bekas di dahi, di samping tentunya bekas-bekas spiritual di dalam batin. "Bekas sujud" (atsar al-sujud) berupa bercak hitam di wajah atau dahi semakin sering terlihat di kalangan ahli ibadah, khususnya ibadah sholat.

Kalangan ulama tasawuf memahami, ada semacam cahaya yang bersinar dari orang-orang yang sering sujud. Di dalam hadits memang ditemukan bahwa anggota badan yang sering dibasuh dengan air wudhu akan memancarkan cahaya di dalam perjalanan menuju Padang Mahsyar di akhirat kelak. Ulama lain memaknainya secara sosiologis bahwa yang dimaksud bekas sujud di dalam ayat di atas ialah resonansi sosial yang dimiliki para ahli sujud.

Tidak satu pun ulama tafsir yang mengatakan bekas sujud itu harus dalam bentuk fisik di wajah. Akan tetapi, umumnya mereka berpendapat bekas sujud di dalam ayat di atas ialah pengaruh ahli sujud di dalam komunitas masyarakatnya. Seberapa banyak ia bisa memberi manfaat di dalam masyarakat sekitarnya.

Jadi, tidak perlu berupaya menghitamkan dahi dengan berbagai cara karena bukan itu yang menjadi hakikat makna bekas sujud. Selama ini masih ada kelompok masyarakat yang berusaha dengan berbagai cara menghitamkan dahinya sebagai tanda sujud. Upaya seperti itu tidak perlu, bahkan hal itu bisa dikategorikan merusak keindahan yang Allah anuge rahkan kepadanya.

Pendapat terakhir ini sejalan de ngan semangat yang disampaikan di dalam surat Al Maun: 

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ "Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang sholat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari sholatnya, orang-orang yang berbuat ria. Dan enggan (menolong dengan) barang berguna." (QS Al Maun 4-7).

Ayat ini dengan tegas menolak makna kesalehan formalisme. Untuk apa mengejar kuantitas dan formalis me keagamaan tetapi tidak membawa dampak pada kemaslahatan diri, ke luarga, dan masyarakat? Untuk apa memiliki tanda hitam di dahi jika kita tidak respek dan tidak concern terhadap problem sosial di lingkungan kita? Ayat-ayat tersebut tadi menunjukkan bahwa kesalehan individual tidak ada artinya tanpa didukung kesalehan sosial sebagaimana digam barkan dalam ayat di atas.

Dilihat dari maksud dan tujuan kita diciptakan di muka bumi ini ialah untuk sukses menjadi hamba ('abid) dan sebagai khalifah. Kesuksesan kita sebagai hamba diukur melalui inten sitas hubungan vertikal dengan Sang Khalik dan kesuksesan kita sebagai khalifah diukur melalui efektivitas hubungan horizontal kita dengan sesama manusia, bahkan dengan sesama makhluk ciptaan Tuhan yang lain, seperti alam raya, termasuk di dalam nya lingkungan hidup, seperti fauna dan flora serta ekosistem lainnya. Manusia menjadi khalifah bukan hanya untuk kalangan manusia, melainkan juga alam semesta.