Rabu 12 May 2021 05:45 WIB

Benarkah Ekspansi Ottoman Didominasi Perang dan Pembunuhan?

Kekuatan militer Ottoman menginspirasi tentara negara-negara Barat.

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Nashih Nashrullah
Kekuatan militer Ottoman menginspirasi tentara negara-negara Barat. Sultan Muhammad al-Fatim memimpin bala tentara Ottoman.
Foto: google.com
Kekuatan militer Ottoman menginspirasi tentara negara-negara Barat. Sultan Muhammad al-Fatim memimpin bala tentara Ottoman.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak berhasil menguasai Konstantinopel, Turki Utsmaniyah atau Ottoman bertransformasi menjadi kekuatan utama Islam di seluruh dunia, khususnya kawasan pesisir Mediterania.

Dalam menjalankan politik ekspansi, kesultanan tersebut tidak melulu menggunakan cara-cara militeristik, tetapi juga berupaya menarik simpati masyarakat lokal. Salah satu contohnya diceritakan Fethullah Gulen dalam bukunya, Cahaya Abadi Muhammad SAW: Kebanggaan Umat Manusia.

Dalam perjalanan menuju suatu medan pertempuran, dia menjelaskan, para pasukan Utsmaniyah kerap menggantungkan berbagai macam buah-buahan yang mereka bawa di dahan-dahan pohon yang dilewatinya.

Seiring waktu, pasukan tersebut berhasil menaklukkan hati penduduk wilayah yang akan mereka kuasai, alih- alih menekan mereka dengan kekuatan senjata. Menurut Gulen, cara-cara seperti itu membuat Ottoman berhasil menguasai banyak negeri di Eropa, khususnya Semenanjung Balkan, hingga ratusan tahun. Apalagi, Benua Biru kala itu masih panas akan dendam kesumat Perang Salib.

Pada faktanya, perang tersebut tidak hanya memperhadapkan antara Salibis dan Muslim, tetapi juga sesama Kristen, yakni kaum Latin (Roma) dan Yunani (Konstantinopel).

Sebut saja, Penjarahan Konstantinopel yang terjadi dalam Perang Salib IV pada 1204. Sejarawan Yunani Speros Vryonis mengatakan, seperti dikutip Graham E Fuller dalam A World Without Islam (2010), kebencian kaum Yunani terhadap Roma memuncak akibat peristiwa nahas itu. Bahkan, mereka meyakini bahwa pasukan Utsmaniyah, seandainya berhasil merebut kota itu, tidak akan berlaku sekejam orang-orang Kristen Latin tersebut.

Dan, memang benar demikian. Ketika menaklukkan jantung Kekaisaran Romawi Timur (Bizantium) itu pada 29 Mei 1453, Sultan Mehmed II al-Fatih memperlakukan para pemuka dan komunitas Kristen setempat dengan penuh toleransi.

Jadi, jika ada pendapat yang menya takan bahwa Kekhalifahan Utsmaniyah hanya menggunakan kekerasan untuk menguasai Eropa, jelaslah bahwa pendapat itu salah. Apalagi, jika mengetahui kualitas alat transportasi pada masa Utsmaniyah yang sangat sederhana, pasti kita akan tahu bahwa pada masa itu penguasaan atas suatu wilayah yang sangat luas tidak mungkin dapat dilakukan hanya dengan kekuatan senjata, tulis Gulen.

Sikap yang cenderung merangkul, alih-alih membinasakan, masyarakat wilayah yang dikuasainya lantas berdampak positif bagi perkembangan Utsmaniyah sendiri. Dengan demikian, mereka dapat turut mendukung perkembangan dan kemajuan kesultanan di pelbagai bidang, termasuk maritim.

Penduduk Yunani sejak dahulu kala dikenal sebagai bangsa pelaut yang tangguh. Mereka juga ber peran besar di jalur niaga Mediterania Timur. Kota pelabuhan paling penting di Yunani--setelah Konstantinopel--adalah Thessaloniki atau Salonika, yang kemudian berhasil ditaklukkan Sultan Murad II pada 1430.

Murad II kemudian menjadikan Salonika sebagai kota yang majemuk. Penduduk Nasrani setempat dilindungi dan dijamin hak-haknya. Berbagai infrastruktur, seperti pasar, sekolah, dan masjid, didirikannya. Tidak hanya kaum Muslimin dan Kristen Yunani yang hidup dengan tenteram di sana.

Belakangan, terutama pada zaman Sultan Bayezid II (1481-1512) komunitas Yahudi pun dapat bertempat tinggal di Salonika. Tak sedikit dari mereka adalah pengungsi, yang sebelumnya terusir dari Spanyol sejak rezim Inkuisisi berkuasa pada 1478.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement