Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Tasya Kania

Mengurai Benang Kusut Literasi Melalui Taman Baca Masyarakat

Eduaksi | Tuesday, 18 May 2021, 10:06 WIB
Foto: Anak-anak Desa Gledeg sedang mewarnai bersama. (Sumber foto: Indira Rahma)

Data dari UNESCO mencetuskan jika Indonesia mendapat peringkat kedua dari bawah mengenai literasi dunia, artinya minat baca di negara tropis ini sangat rendah. Bahkan, presentasenya saja hanya 0,001% di mana dari 1000 orang hanya 1 orang yang gemar membaca.

Namun, pendapat tersebut dipatahkan oleh pandangan seorang gadis asal Klaten. Setelah berhasil mendirikan sebuah ruang literasi, ia sadar bukan minat baca masyarakat yang rendah, tetapi akses bacanya yang tidak ada.

Maka situasi itu lah yang menjadi bayang-bayang Indira Rahma untuk mengambil aksi membangun taman baca masyarakat (TBM) setelah bertemu dengan satu titik masalah kecil yang menjadi krusial. "Aku menemukan kok anak-anak ini nggak bisa menemukan jawaban di bacaan (materi membaca). Terus aku mikir kenapa seperti ini?"

Selain, karena tidak bisa menemukan pemahaman bacaan ditambah masa pandemi juga membuat anak-anak terdistraksi untuk terus berseluncur di internet, Youtube, dan Tiktok akibat adanya sokongan spot Wifi gratis di desa, membuat Indira prihatin sekaligus gemas untuk membangun taman baca di desanya demi mengembalikan akses ke buku yang mulai menipis.

"Awalnya aku mau membangun pojok baca, tapi kalo pojok baca kan ruang lingkupnya cuma pojok yang dijadikan ruang baca, kalo mau perpus terlalu formal. Makannya, aku milih taman baca, karena nanti di situ mereka lebih leluasa, lebih fleksibel. Mereka bisa bermain, bisa baca, dan mengeksplor diri," tutur Indira ketika menjelaskan mengapa ia membangun Taman Baca Masyarakat Widya Anatar.

Membangun dan Mengelola Taman Baca di Tengah Melawan Pandemi

Pandemi yang tak kunjung usai juga membuat alumni IAIN Surakarta ini mengejar pembagunan taman baca dengan cepat, hanya karena ia tidak ingin anak-anak kehilangan literasi lebih jauh. Walaupun, pembangunan taman baca yang terletak di Desa Gledeg ini harus ia kurasi seorang diri. Jangan tanya sulit dan frustasinya seperti apa yang dialami Indira demi mendorong minat literasi warga di desanya.

"Kalo menurutku waktu pandemi itu susah, sih. Karena waktu itu aku kan posisinya sendiri buat TBM-nya. Aku ngirim proposal ke penerbit, aku udah masukin sekitar 30 proposal dan yang di-acc itu cuma lima. Alasan mereka sama, karena pandemi dan pemasukannya sedikit. Pembangunan TBM ini belum ada support dari pemerintah desa jadi semua uang itu dari hasil sendiri," cerita Indira mengingat kesulitannya ia mencari sponsor buku.

Demi menekan biaya pembangunan taman baca juga Indira harus menambal bangunan dengan sisa material dari pembangunan masjid. "Desaku kan masjidnya masih pembangunan jadi sisa-sisa material itu dibangun untuk taman bacanya ini."

Tidak berhenti di situ, kesulitan untuk mendorong anak-anak agar beralih ke buku dibanding dengan gawai kekinian pun harus dilakukan secara perlahan, sampai di mana bocah-bocah tersebut terbiasa membaca buku sebelum bermain gawai. Belum lagi dengan situasi pandemi dan kebanyakan anak-anak lelah dengan memakai masker atau menaati protokol kesehatan tentu menjadi PR berlebih bagi Indira untuk tetap mengingatkan mereka.

Akan tetapi, hasil tidak akan mengkhianati usaha itulah yang menggambarkan keadaan Taman Baca Masyarakat Widya Anatar. Walaupun dalam prosesnya harus terseok-seok, TBM ini akhirnya menjadi angin segar bagi literasi desa di sana. Terbukti dengan respon masyarakat Desa Gledeg yang antusias terhadap pos kamling tebengkalai bertransformasi menjadi ruang yang lebih bermanfaat.

"Mereka bilang alhamdulillah ada perpus. Jadi, sekarang kalau main nggak hp terus. Bisa baca banyak buku. Alhamdulillah juga dapat apresiasi di tingkat desa maupun kecamatan," tutur Indira dengan nada bahagia.

Tentunya kebahagian tersebut tidak lepas dari ribuan donasi buku yang datang untuk mengisi rak-rak yang ada. Indira, selaku pengelola dan pendiri TBM tersebut memang mengandalkan media sosial untuk menggalang donasi buku, agar buku-buku di sana lebih beragam dan berkualitas. Sehingga, anak-anak dan masyarakat bisa betah untuk menggarap literasi lebih banyak.

Widya Anatar Bukan Sekadar Perpus Kaku yang Sunyi

Keinginan Indira untuk menciptakan taman bacaan yang bisa mengeksplor anak-anak juga ia sertai dengan kegiatan yang menyenangkan, guna menghindari kesan 'taman baca yang formal'.

Dimulai dengan melakukan senam pagi bersama, mewarnai, menggambar, hingga bermain badminton pun dilakukan anak-anak agar mereka bisa menggali potensi dirinya dalam ruang lingkup kecil menggantikan kegiatan menggali potensi di sekolah. Selain itu, Widya Anatar juga menyediakan berbagai mainan yang dapat mengasah motorik seperti puzzle dan permainan tebak gambar.

Memang sebagian tidak ada hubungannya dengan literasi, tetapi hal-hal tersebut menjadi pancingan untuk membuat Taman Baca Widya Anatar terlihat lebih bewarna dan perlu diketahui juga jika kegiatan di atas tidak ada jadwal tetap kapan saja hal tersebut dilakukan.

"Kalau jadwal memang sengaja belum aku buat. Aku ingin anak-anak bebas tak terikat apapun. Tapi, nanti kedepannya jika misal dirasa perlu akan dibuat," ungkapnya.

Namun, ia juga menuturkan jika di Taman Baca Widya Anatar ada satu kegiatan rutin. "Kalau jadwal rutinnya itu sinau bareng (belajar bersama) setiap hari Senin sampai Sabtu. Tapi, untuk ramadhan ini lebih fleksibel lagi sesuai kehendak anak-anak saja."

"Perasaan Memiliki Taman Baca Untuk Mengundang Tanggung Jawab..."

Widya Anatar memang taman baca masyarakat yang dibangun dan dikelola oleh satu inisiatif seorang warga. Namun, jauh dari itu taman baca ini diperuntukkan bagi masyarakat terutama anak-anak agar bisa mengenal dunia literasi sampai akarnya. Maka sudah sewajarnya anak-anak di sana mempunyai perasaan memiliki taman baca.

Indira juga membenarkan ketika ia tidak memiliki harapan dengan remaja karang taruna yang pasif di desanya, ia memutuskan menaruh harapan kepada anak-anak, karena ia yakin Widya Anatar bisa bertahan lama terlepas dari TBM ini adalah satu-satunya akses untuk anak-anak desa berjumpa dengan literasi.

"Jadi aku nggak ada harapan, nih, ke karang taruna. Tapi, aku menaruh harapanku ke anak-anak. Ketika anak-anak sudah memiliki rasa kepemilikan terhadap taman baca ini, mereka akan meneruskan itu," sambung Indira ketika menjelaskan anak-anak yang mempunyai perasaan memiliki, nantinya akan hadir juga perasaan tanggung jawab terhadap TBM Widya Anatar.

Mengutip dari Indira, ia juga menyebutkan untuk kedepannya akan diberlakukan piket supaya anak-anak akan terbiasa dengan mengurus TBM ini. Sehingga, ketika mereka sudah besar pun nantinya mereka akan menumbuhkan ke generasi selanjutnya agar tercipta regrenerasi.

"Aku yang mecontohkan ke mereka. Kalau inventaris buku seperti ini, kalau bukunya datang seperti ini, kegiatannya seperti ini. Aku yang mencontohkan ke mereka, nanti mereka yang akan menyerap itu dan akan ada regrenasinya di anak-anak," tutupnya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image