Jumat 11 Jun 2021 07:31 WIB

Amnesty: Muslim Uighur Hidup dalam Neraka Distopia

Amnesty mengumpulkan bukti baru pelanggaran HAM di wilayah Xinjiang.

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Ani Nursalikah
Amnesty: Muslim Uighur Hidup dalam Neraka Distopia. Sejumlah jurnalis asing memotret gedung perkantoran terpadu milik Pemerintah Kota Turban, Daerah Otonomi Xinjiang, China, Jumat (23/4/2021). Pemerintah China membantah klaim asing berdasarkan citra satelit yang menyebutkan  bahwa gedung tersebut merupakan penjara bagi warga dari kelompok etnis minoritas Muslim Uighur.
Foto: ANTARA/M. Irfan Ilmie
Amnesty: Muslim Uighur Hidup dalam Neraka Distopia. Sejumlah jurnalis asing memotret gedung perkantoran terpadu milik Pemerintah Kota Turban, Daerah Otonomi Xinjiang, China, Jumat (23/4/2021). Pemerintah China membantah klaim asing berdasarkan citra satelit yang menyebutkan bahwa gedung tersebut merupakan penjara bagi warga dari kelompok etnis minoritas Muslim Uighur.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Amnesty International mengumpulkan bukti baru pelanggaran HAM di wilayah Xinjiang, China. Mereka menggambarkan situasi di sana sebagai neraka distopia bagi ratusan ribu Muslim yang menjadi sasaran penyiksaan.

Organisasi HAM tersebut mengumpulkan lebih dari 50 laporan terbaru dari Uighur, Kazakh, dan etnis minoritas Muslim lainnya yang mengklaim menjadi sasaran penahanan massal dan penyiksaan di kantor polisi serta kamp Xinjiang. Kesaksian dari mantan tahanan menyalahkan adanya penggunaan kursi harimau, yaitu kursi baja dilengkapi borgol yang menahan tubuh tahanan dalam posisi yang menyakitkan selama interogasi polisi.

Baca Juga

Pemukulan, kurang tidur, dan kepadatan adalah hal biasa di kantor polisi. Muslim Uighur yang sering ditangkap melaporkan mereka diikat selama interogasi dan pemindahan.

Sementara di kamp, para tahanan tidak memiliki privasi dan menghadapi hukuman keras karena hal sepele. Amnesty mengatakan, pada satu kasus, seorang tahanan diyakini meninggal karena ditahan di kursi harimau di depan teman satu selnya selama 72 jam.

Pada pekan-pekan awal di kamp, orang yang diwawancarai Amnesty menjelaskan mereka dipaksa duduk diam atau berlutut selama berjam-jam. Mereka tidak diizinkan beribadah dan menggunakan bahasa ibu.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement