Jumat 11 Jun 2021 17:22 WIB

Psikolog: Guru & Siswa Perlu Penyesuaian Sekolah Tatap Muka

Penyesuaian dilakukan karena guru dan murid sudah satu tahun sekolah daring.

Red: Karta Raharja Ucu
Sejumlah siswa usai melaksanakan uji coba pembelajaran tatap muka tahap dua di SDN 08 Kenari, Jakarta, Rabu (9/6). Sebanyak 226 sekolah di Jakarta mengikuti uji coba pembelajaran tatap muka tahap dua dengan kuota 50 persen dari jumlah siswa dan tetap menerapkan protokol kesehatan. Republika/Putra M. Akbar
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah siswa usai melaksanakan uji coba pembelajaran tatap muka tahap dua di SDN 08 Kenari, Jakarta, Rabu (9/6). Sebanyak 226 sekolah di Jakarta mengikuti uji coba pembelajaran tatap muka tahap dua dengan kuota 50 persen dari jumlah siswa dan tetap menerapkan protokol kesehatan. Republika/Putra M. Akbar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah satu tahun para siswa dan guru menjalani belajar mengajar via daring karena pandemi Covid-19, pemerintah berencana menggelar Pembelajaran Tatap Muka (PTM). Psikolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Sutarimah Ampuni, M.Si mengatakan, kembalinya anak-anak belajar di sekolah setelah satu tahun di rumah menimbulkan berbagai akibat. Apalagi sudah terbentuk kebiasaan baru selama satu tahun belajar di rumah.

"Ini memang menjadi keprihatinan saya juga ya jadi memang tahu nih anak-anak terbentuk kebiasaannya, misalnya ya bangun tidur menjadi lebih siang, kemudian tidur menjadi lebih malam, pola makan, pola belajar dan sebagainya itu banyak yang berubah ya setahun ini," kata Sutarimah kepada Republika.co.id, Kamis (10/6).

Kebiasaan baru lainnya adalah dari kebiasaan berinteraksi dengan gadjet yang lebih panjang. Sehingga nanti menurut Sutarimah, setelah anak-anak kembali ke sekolah akan mempengaruhi jam belajar dan sebagainya. "Banyak yang harus disesuaikan nanti mungkin ketika mau pembelajaran tatap muka lagi. Itu harus dipersiapkan jauh-jauh hari," kata dia.

"Saya kira jadi siswa itu pengumumannya tuh tidak bisa mendadak seperti itu ya. Mindset anak-anak juga orang tuanya itu bisa disusun kembali agar nanti ketika menyesuaikan kembali, ketika menyesuaikan dengan ritme (kembali ke sekolah) itu sudah bisa mengikuti," ucap dia.

Ia mengaku paham jika nanti akan banyak guru yang mengalami stres karena akan mengalami penyesuaian. Mungkin karena kebiasaan anak berubah, anak menjadi kooperatif karena mungkin di rumah terbiasa santai.

"Saya membayangkan mungkin akan banyak yang mengalami stres, mungkin orang tua akan mengalami stres karena harus kembali anaknya untuk bangun pagi untuk apa-apa sesuai jadwal dan sebagainya. Kemudian guru juga akan mengalami stres karena mungkin penyesuaian kembali, bagaimana mengelola siswa yang mungkin tingkat kooperatif sekitarnya atau kerja sama menurut kebiasaan yang kurang teratur, dan anak sendiri karena sudah terbiasa enak," kata dia menjelaskan.

Sekolah daring dan rencana PTM ini pun dikeluhkan banyak pihak. Pastinya, menurut Sutarimah, para guru yang tidak nyaman karena selama pembelajaran daring semuanya barangkali lebih mudah ketimbang PTM. "Bagaimanapun guru tetap akan lebih menyukai pembelajaran normal tatap muka," ucap dia.

Ia pun setuju jika banyak guru mengeluhkan sekolah daring yang dinilai kurang efektif. Karena para guru menjalani sesuatu yang tidak biasa sehingga menimbulkan perasaan yang tidak nyaman. Jadi, jika biasanya para guru bisa memastikan targetnya tercapai, bisa melihat anak menguasai sesuatu, melihat anak-anaknya perform, di sekolah daring mereka tidak bisa.

"Mungkin kita bisa melihat anak tetap menjalankan tugas-tugasnya di layar laptop dan sebagainya. Namun bayangkan kalau misalnya guru-guru yang berada di tempat yang letak geografisnya yang tidak menguntungkan, anaknya tidak masuk sekolah (karena jaringan), dan para guru harus pergi ke ke suatu tempat di mana bisa bertemu dengan anaknya itu karena bertemu dengan anak dan memastikan target tercapai," ucap dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement