Selasa 22 Jun 2021 05:10 WIB

Langkah Moeldoko Libatkan CSO Atasi Konflik Agraria Didukung

Reformasi agraria bukan hanya pengesahan sertifikat tanah.

Red: Gilang Akbar Prambadi
Sejumlah petani makan bersama saat aksi simpatik Hari Tani Nasional di area lahan pertanian di Desa Pagerwangi, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, beberapa waktu lalu.
Foto: ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA
Sejumlah petani makan bersama saat aksi simpatik Hari Tani Nasional di area lahan pertanian di Desa Pagerwangi, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, beberapa waktu lalu.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Inisiatif Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko menggandeng empat organisasi masyarakat sipil (CSO) dalam konflik-konflik agraria mendapat dukungan dari kalangan pegiat reformasi birokrasi. Cara tersebut dinilai tidak hanya akan mempercepat penyelesaian konflik agraria yang terus bertambah dari tahun ke tahun, melainkan juga merupakan cara penyelesaian baru konflik agraria yang lebih holistik dan terpadu. 

Dukungan itu disampaikan Direktur Eksekutif Indonesia Bureaucracy and Service Watch (IBSW), Nova Andika, melalui pernyataan pernya, Senin (21/6). Menurut Nova, konflik agraria merupakan salah satu persoalan krusial di masyarakat yang meski selalu dilakukan penyelesaian oleh pemerintah senantiasa bertambah dari tahun ke tahun. Mengutip  catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), menurut Nova pada 2017 saja setiap hari terjadi dua konflik agraria, atau sekitar 659 konflik dalam setahun. Angka itu meningkat hampir 50 persen dibandingkan tahun sebelumnya, 2016, dengan cakupan lahan seluas 520 ribu hektare dan melibatkan 652 ribu kepala keluarga.

Dengan perhatian besar pemerintah yang terus melakukan segala upaya, termasuk membagi-bagikan tanah beserta sertifikat lahannya, angka tersebut pada tahun 2020 lalu menurun  menjadi 241 kasus dengan korban 135 ribu kepala keluarga. 

“Artinya, kasus-kasus konflik agraria memang besar dan krusial menimbulkan gesekan di masyarakat,” kata Nova. 

Dalam hal ini, Nova sepakat dan mendukung keyakinan dan tekad Presiden Joko Widido pada momentum Hari Tani 24 September 2018 untuk mempercepat penyelesaian konflik-konflik agrarian. Pada saat itu, presiden tidak hanya membagikan 17 ribu sertifikat tanah kepada warga Tangerang dan Bogor, tetapi juga menyatakan target untuk sesegera mungkin menyelesaikan konflik-konflik agraria dan menerbitkan jutaan sertifikat lahan untuk dibagikan kepada masyarakat secara cuma-cuma.

Dengan besarnya jumlah kasus konflik agrarian setiap tahun, kata Nova, langkah yang dilakukan KSP Moeldoko dianggap sebuah terobosan baru yang efektif. 

Pelibatan keempat CSO yang telah banyak terlibat dalam mediasi konflik-konflik agraria, yakni Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Serikat Petani Indonesia (SPI), Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), dan Gema Perhutanan Sosial (GEMA PS), kata Nova, memungkinkan penanganan yang lebih holistic, dibandingkan cara-cara sebelumnya yang cenderung lebih yuridis-normatif. 

“Artinya, pemerintah melalui KSP Moeldoko telah membuka diri untuk memungkinkan penyelesaian yang lebih integrative, yang memungkinkan tertutupnya peluang timbulnya kasus-kasus baru, baik di lahan yang sama atau pun di tempat lain,” kata Nova.    

Beberapa waktu lalu Moeldoko mengakui bahwa reformasi agraria bukan hanya pengesahan sertifikat tanah, tapi juga mendistribusikan lahan kepada masyarakat.

Di saat yang sama Moeldoko mengatakan bahwa peraturan presiden tentang reforma agraria akan menjadi dasar hukum pemberian lahan untuk rakyat. Bukan cuma sertifikasi lahan, tapi Moeldoko menyatakan pemerintah juga bertekad membagi lahan tak tergarap untuk komunitas lokal. 

"Pemerintah sadar ada tantangan dalam menata pertanahan nasional secara cepat dan juga tepat," kata Moeldoko saat itu. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement