Kamis 24 Jun 2021 10:54 WIB

Implementasi Cofiring PLTU Berdampak Positif untuk Ekonomi

Biomassa untuk cofiring bisa diambil dari limbah pertanian hingga limbah rumah tangga

Red: Gita Amanda
 Penggunaan biomassa sebagai substitusi bahan bakar Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) sejalan dengan upaya Indonesia menuju net zero emission di masa depan.
Foto: Kementerian ESDM
Penggunaan biomassa sebagai substitusi bahan bakar Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) sejalan dengan upaya Indonesia menuju net zero emission di masa depan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penggunaan biomassa sebagai substitusi bahan bakar Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) sejalan dengan upaya Indonesia menuju net zero emission di masa depan. Selain turut meningkatkan kontribusi energi terbarukan pada bauran energi nasional, cofiring juga berdampak positif kepada pengembangan ekonomi kerakyatan (circullar economy) karena dapat membuka lapangan kerja dan peluang bisnis di sektor biomassa khususnya yang berbasis sampah dan limbah.

Hal tersebut disampaikan oleh Sekretaris Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Sahid Junaidi pada acara launching Go Live Komersial Cofiring PLTU Indramayu, PLTU Paiton 9 dan PLTU Tanjung Awar Awar yang diselenggarakan secara daring, Senin (21/6) lalu.

Biomassa untuk cofiring bisa diambil dari limbah pertanian, limbah industri pengolahan kayu, hingga limbah rumah tangga serta tanaman energi yang ditanam pada lahan kering atau dibudidayakan pada kawasan Hutan Tanaman Energi seperti pohon Kaliandra, Gamal dan Lamtoro.

Menurut Sahid, tantangan terbesar dalam implementasi cofiring biomassa adalah upaya untuk menjaga keberlanjutan pasokan bahan baku biomassa dengan tetap memperhatikan aspek keekonomian. Sehingga nantinya harga listrik yang dihasilkan tetap terjangkau dan tidak melebihi biaya pokok penyediaan (BPP) yang ditetapkan.

"Kami mendukung upaya yang telah dilakukan PLN untuk terus mencari peluang-peluang pemanfaatan biomassa, melakukan komitmen dengan pemasok biomassa besar seperti Perhutani, PTPN, dan Shang Hyang Seri, serta mendorong berkembangnya pasar biomassa skala menengah dan kecil. Kami berharap upaya-upaya ini terus dilanjutkan di setiap titik lokasi PLTU di Indonesia sehingga nantinya akan tercipta pasar demand dan supply yang semakin besar dan keekonomian serta economics of scale yang semakin baik," jelas Sahid.

"Kita berharap program ini tidak hanya berhenti sampai disini, tapi juga harus berkelanjutan dengan persentase dari campuran biomassanya yang terus meningkat," lanjutnya seperti dikutip dari laman resmi Kementerian ESDM.

Sebagai informasi, PT PLN (Persero) telah berhasil melakukan implementasi cofiring atau pencampuran biomassa dengan batu bara pada 17 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) hingga Juni 2021. Dari proyek cofiring tersebut, PLN mampu menghasilkan energi hijau dari ekivalen kapasitas pembangkit 189 Mega Watt (MW).

Dari total 17 PLTU yang menggunakan biomassa secara komersial tersebut, sekitar 12 PLTU tersebar di Jawa dan 5 lokasi di luar Jawa. Pembangkit-pembangkit itu dikelola dua anak usaha PLN yaitu PT Indonesia Power dan PT Pembangkitan Jawa Bali.

Indonesia Power menghasilkan energi hijau melalui co-firing di PLTU Suralaya 1-4, PLTU Suralaya 5-7, PLTU Sanggau, PLTU Jeranjang, PLTU Labuan, PLTU Lontar, PLTU Pelabuhan Ratu, PLTU Barru dan PLTU Adipala. Sedangkan PJB menghasilkan energi hijau melalui co-firing PLTU Paiton Unit 1-2, PLTU Pacitan, PLTU Ketapang, PLTU Anggrek, PLTU Rembang, PLTU Paiton 9, PLTU Tanjung Awar-Awar dan PLTU Indramayu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement