Kamis 01 Jul 2021 05:58 WIB

Mualaf Wahyu, Umroh dan Kisah Mimpi yang Ubah Hidupnya

Mualaf Wahyu tergugah dan mengalami titik balik usai mimpi dan umroh

Rep: Ratna Ajeng Tejomukti/ Red: Nashih Nashrullah
Mualaf Wahyu tergugah dan mengalami titik balik usai mimpi dan umroh. Wahyu
Foto: Dok Istimewa
Mualaf Wahyu tergugah dan mengalami titik balik usai mimpi dan umroh. Wahyu

REPUBLIKA.CO.ID, Sebelum bertobat, mualaf kelahiran Yogyakarta ini sempat mengalami mimpi buruk yang menggelisahkan. 

Hidayah merupakan karunia Allah SWT untuk siapapun yang dikehendaki-Nya. Dan, cahaya petunjuk Ilahi mungkin saja datang tidak hanya sekali. Dalam menjalani kehidupan di dunia fana ini, seorang insan memang memerlukan tuntunan menuju jalan yang lurus (shirat al-mustaqim). 

Yohanes Wahyu Kusnaryo merasakan karunia tersebut. Kepada Republika, dia mengaku bersyukur karena Allah Ta'ala menghendaki dirinya agar kembali kepada kebenaran. Sebab, dirinya sebelum itu selalu menganggap remeh perkara keimanan dan ketakwaan. 

Wahyu, demikian sapaan akrabnya, bukanlah Muslim sejak lahir. Lelaki kelahiran Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tersebut dibesarkan dengan latar belakang Katolik. Barulah setelah dirinya dewasa, dua kalimat syahadat diucapkannya. Itu pun dipandangnya sebagai proses belaka untuk dapat menikah dengan seorang Muslimah. 

Pernikahan itu berlangsung dengan didahului dinamika. Sebelum tanggal akad nikah ditentukan, Wahyu telah berdiskusi dengan perempuan yang akhirnya menjadi istrinya itu.Perbedaan keyakinan memang sempat menjadi persoalan dalam hubungan keduanya. Maka menjelang akad nikah, Wahyu meyakinkan wanita pujaan hatinya itu bahwa dirinya akan mengalah. 

“Karena istri tidak mau ikut agama saya, jadi saya yang menjadi Muslim. Hingga saat itu, saya merasa Islam saya sekadar KTP (identitas)saja,” ujar pria yang kini berusia 34 tahun tersebut.

Ikrarnya untuk menjadi seorang Muslim diucapkan di Masjid Condro Kiranan pada 26 Juni 2011. Wahyu mengakui, saat itu keislamannya masih pada taraf permukaan. Dalam arti, dirinya belum sungguh-sungguh memahami apa hakikat dan konsekuensi dari iman dan Islam yang dipilihnya. 

Apalagi, kenang Wahyu, pada waktu itu geliat keislaman agaknya belum seperti sekarang. Tidak begitu banyak lembaga atau takmir masjid yang memiliki fokus untuk penguatan iman kalangan mualaf. Ia sendiri tidak berminat kala itu untuk mencari ustaz atau guru yang dapat membimbingnya. 

Maka, Wahyu menjalani rutinitas nyaris seperti dahulu dirinya masih non-Muslim.Memang, ia mengetahui adanya kewajiban- kewajiban, semisal shalat lima waktu, puasa Ramadhan, atau berzakat. Akan tetapi, semua ibadah wajib itu ditinggalkannya. Kalau ada yang dilaksanakan, itu pun seingatnya saja. 

Malahan, kira-kira dua bulan sejak menikah, Wahyu terjermus dalam dunia malam. Ia cenderung mudah tertarik pada lingkungan jahiliyah, yakni gemar memuaskan hawa nafsu semata. Gaya hidupnya sangat jauh dari prinsip- prinsip islami. Sholat ditinggalkannya. Minuman keras tak ragu ditenggaknya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement