Jumat 02 Jul 2021 17:54 WIB

Membidik Harga Murah Mobil Listrik

Sebuah langkah besar butuh perjuangan panjang dan pengorbanan yang tidak sedikit.

Red: Fernan Rahadi
Mobil listrik (ilustrasi)
Foto: reuters
Mobil listrik (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Khoiria Oktaviani (Subkoordinator Rencana dan Program Komunikasi dan Informasi Kementerian ESDM)

Siapa yang tak ingin mengendarai mobil listrik di jalanan ibu kota? Meliuk-liuk menembus keramaian dengan mesin yang nyaris tak bersuara. Mobil listrik ini juga terbukti hemat bahan bakar dan lebih ramah lingkungan dibandingkan mobil berbahan bakar BBM. Namun sayangnya, kendaraan futuristik tersebut saat ini masih menjadi barang langka di Indonesia, hanya dimiliki beberapa kepala. 

Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mencatat, selama tahun 2020 hanya 81 unit mobil listrik yang terjual di Indonesia, itu sudah termasuk unit Hyundai Ioniq EV yang dipakai oleh Grab. Namun angka ini belum termasuk angka penjualan mobil listrik Tesla, karena distributor Tesla di Indonesia belum tergabung sebagai anggota Gaikindo. 

Sementara itu, produsen mobil Jepang seperti Honda dan Toyota masih belum melihat kebutuhan pasar yang signifikan terhadap mobil listrik. Volume penjualan mobil jenis ini kurang dari 3 persen dari total penjualan mobil secara global. Kurangnya minat konsumen ini mungkin disebabkan karena harganya yang lebih mahal, jarak tempuh yang pendek, maupun lamanya waktu charging.

Harga yang masih tinggi diakui pihak pabrikan menjadi faktor utama langkanya peminat mobil kelas ini. Harga termurah mobil listrik di Indonesia masih dibanderol di atas Rp 400 juta, harganya sekitar dua kali lipat harga mobil berbahan bakar bensin dengan performa dan interior serupa. Wajar, karena di mobil listrik baterai sebagai komponen utama menyumbang setengah dari harga jualnya. Untuk mobil listrik seharga Rp 700 juta misalnya, harga baterainya bisa mencapai Rp 350 juta sendiri. 

Belum lagi ketersediaan tempat pengisian daya (charging station) yang masih terbatas. Hingga April 2021, baru tersedia 112 unit charging station yang tersebar di 83 lokasi di Indonesia, baik di SPBU, SPBG, perkantoran, perhotelan, pusat perbelanjaan, hingga area parkir. 

Mengantisipasi tingginya permintaan mobil listrik nasional, PLN cukup ambisius dengan menargetkan penyediaan charging station hingga 31.866 unit secara nasional pada tahun 2031. Guna meningkatkan pelayanan konsumen, PLN juga telah menyiapkan aplikasi Charge.IN untuk mengetahui lokasi charging station terdekat dan melihat konsumsi listrik kendaraan pribadi.

Tak perlu menunggu lama, banyak perusahaan otomotif yang kemudian merencanakan peluncuran mobil listrik dengan harga ekonomis. Salah satunya Wuling Asal China, yang pede bisa menyediakan harga mobil listrik di kisaran Rp 100 juta untuk pasar Indonesia.

Dalam urusan mobil listrik ini pemerintah memang sangat serius. Sejak Perpres mobil listrik (Perpres Nomor 55 Tahun 2019) ditandatangani 8 Agustus 2019, berbagai upaya akselerasi mobil listrik masif dilakukan oleh berbagai pihak. Tak hanya soal kepedulian lingkungan, penurunan impor BBM dan upaya penyerapan produksi listrik menjadi alasan mobil listrik ini layak menjadi program prioritas yang terus digaungkan.

Mungkin saat ini mobil listrik masih menjadi konsumsi kelas atas. Namun, bukan tidak mungkin ketika nantinya bisnis model kendaraan listrik ini berkembang pesat, penjualan meningkat, dan harga semakin ekonomis, maka kalangan menengah akan berlomba membawa pulang kendaraan rendah emisi ini ke rumahnya. 

Menanti Geliat Industri Baterai Nasional

Saat industri hilir mobil listrik mulai menampakkan perkembangannya, kesiapan industri penopang di sisi hulu menjadi tantangan selanjutnya. Para ahli di seluruh dunia sepakat, faktor utama dalam pengembangan sebuah kendaraan berbasis listrik terletak pada baterai. Diyakini, Tesla dapat menekan harga mobil listrik karena keberhasilan pengembangan baterai yang semakin efisien, yang membawanya sebagai salah satu pemain utama mobil listrik dunia hingga saat ini.

Sementara itu, bahan baku baterai yakni nikel merupakan salah satu kekayaan mineral terbesar yang dimiliki Indonesia. Sebagai pemilik cadangan nikel tertinggi di dunia (52 persen dari cadangan dunia), harapan datang bagi Indonesia untuk dapat memproduksi baterai sebagai penopang industri mobil listrik nasional.

Logikanya, ketika baterai bisa dihasilkan dalam negeri tentunya akan banyak menurunkan biaya produksi mobil listrik yang dikembangkan. Apakah sesederhana itu?

Ada banyak proses yang harus dilalui untuk mengolah bijih nikel menjadi baterai (Li-ion) yang digunakan untuk mobil listrik, laptop maupun HP. Pada tahap awal ada smelter penghasil produk transisi yang harus disiapkan. Di sana sudah ada dua pesaing besar yakni Moa Bay di Kuba dan Coral Bay di Filipina. Setelah melalui smelter yang mengolah nikel menjadi produk transisi, dibutuhkan beberapa industri turunan yang pada akhirnya memproduksi baterai. 

Selanjutnya, produk antara ini kembali diolah menjadi Nickel Sulphate. Sudah ada pendahulu di sana antara lain Sumitomo Metal and Mining (Jepang) dan Umicore (Belgia). Setelah itu, produk tersebut diolah lagi menjadi katoda baterai, di mana pasar dunia untuk produk katoda ini telah dikuasai SMM dan LG Chem serta Samsung (Korea). Terakhir adalah perakitan baterai, sudah ada LG Chem, Samsung, dan CATL (Cina) sebagai pemain utama.

Tak mau kalah bersaing, langkah besar untuk menjemput momen memanfaatkan sumber daya nikel untuk baterai dilakukan. Awal 2021, Pemerintah mendorong lahirnya PT Industri Baterai Indonesia (IBI), produsen baterai kendaraan listrik milik BUMN, yang sahamnya dimiliki bersama perusahaan pelat merah nasional yakni PT Pertamina (Persero), PT Antam Tbk, PT PLN (Persero), dan Mining Industry Indonesia (MIND ID) dengan porsi kepemilikan masing-masing 25 persen. Investasi 13 miliar dolar AS digelontorkan hingga tahun 2030. 

Melihat semangat dan optimisme saat ini, rasanya mencatatkan diri sebagai pemain utama kendaraan listrik dunia bisa jadi tak hanya sebatas cita-cita Indonesia. Namun kembali lagi, sebuah langkah besar membutuhkan perjuangan panjang dan pengorbanan yang tidak sedikit. 

Kebijakan untuk mendorong perkembangan mobil listrik harus terus dikawal. Insentif perlu disiapkan agar harga semakin kompetitif. Terakhir, pemanfaatan sumber daya dan kemampuan domestik harus terus didorong agar kebijakan benar-benar memberikan multiplier effect bagi kesejahteraan rakyat. Secara bertahap, namun pasti.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement