Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ryandita Ainun Nisa

Peristiwa Gerbong Maut Bondowoso 1947: Sejarah Pilu yang Mulai Terlupakan

Sejarah | Tuesday, 29 Jun 2021, 15:39 WIB
Monumen Gerbong Maut Bondowoso 2019. (Instagram/Maha Nanta Dariga Pulung @mnantadp)

Peristiwa Gerbong Maut merupakan peristiwa pilu yang kini tidak lagi banyak disebutkan oleh masyarakat. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 23 November 1947, ketika 100 orang pejuang yang berada dalam tawanan Belanda dibawa dari Stasiun Bondowoso ke Stasiun Wonokromo di Surabaya dengan menggunakan tiga gerbong barang yang tertutup rapat. Mereka disiksa dengan keji hingga akhir hayat mereka. Tragedi ini memakan banyak korban dan menyisakan duka bagi masyarakat.

Latar Belakang Tragedi

Di tahun 1947, berbulan-bulan setelah Agresi Militer Belanda I, kekuatan senjata Belanda yang canggih memberikan pukulan yang menyakitkan bagi tentara Republik. Pada pengakuan Boengkoes kepada Ben Anderson dalam jurnal berjudul The World of Sergeant-Major Bungkus: Two Interviews with Benedict Anderson and Arief Djati, terdapat banyak pasukan Republik yang terbunuh sementara mereka yang selamat harus mengungsi ke daerah pegunungan.

Belanda membabat habis pasukan Republik dengan menangkap laskar, TRI, maupun gerakan bawah tanah. Bahkan orang yang dicurigai membantu perlawanan perang gerilya juga turut ditangkap. Dengan begitu, jumlah tahanan yang berada di dalam penjara sudah melebihi batas, sehingga Belanda berencana untuk memindahkan tahanan dari Penjara Bondowoso ke Penjara Surabaya. Namun, tahanan yang dipindahkan hanya tahanan yang berperan penting dalam perlawanan gerilya dan termasuk dalam kategori pelanggaran berat.

Dalam buku Sejarah Revolusi Kemerdekaan di Jawa Timur (1991) diceritakan bahwa di antara banyak pejuang yang tertangkap, Koeswari, seorang Komandan Polisi Maesan turut tertangkap sebab terdapat laporan dari orang Indonesia yang merupakan mata-mata. Beliau digiring ke kantor keamanan Veiligheids Dienst Mariniers Brigade (VDMB) pada tanggal 14 November 1947.

Setelah pendudukan Belanda tersebut pemuda harus mundur dan melanjutkan perjuangan mereka dengan bergerilya. Namun, para pejuang tidak diam begitu saja. Hampir setiap malam mereka meluncurkan serangan ke markas VDMB hingga persediaan peluru mereka menipis.

Hal tersebut mendorong Singgih, pimpinan Barisan Pemberontak Indonesia (BPI), mengadakan kontak untuk mendapatkan bantuan peluru. Pada tanggal 20 September 1947 ketika Singgih sedang membagikan peluru di halaman rumahnya, Belanda mengepung rumah beliau dan menangkap Singgih dan kawan-kawan. Sejak saat itulah mereka mendapatkan siksaan yang bertubi-tubi. Bahkan Siggih tidak langsung dibawa menuju penjara Bondowoso, melainkan disekap di dalam WC selama berhari-hari.

Pada tanggal 22 November 1947, para tawanan sibuk berkemas tanpa mengetahui kemana mereka akan dipindahkan. Di hari itu pula berkumpul sanak saudara mereka untuk menjenguk dari kejauhan. Namun, dalam buku Monumen Perjuangan Jawa Timur (1986) disebutkan bahwa Belanda membatalkan pemindahan di hari tersebut untuk menghindarkan adanya pertemuan antara para tawanan dengan keluarga mereka.

Pemindahan yang telah direncanakan, baru dilaksanakan keesokan harinya pada 23 November 1947. Hal ini bertepatan ketika Boerhanuddin bersama pejuang Republik yang diantaranya terdapat R. Badroessapari (kakaknya) yang menjabat sebagai Wedono Tamanan Bondowoso, Sutjipto Yudo Dihardjo (Alm. Bekas Kapolri), serta Mayor Jenderal Magenda sedang beristirahat setelah bergerilya, lalu secara mendadak mereka turut disergap oleh pasukan Belanda. Dikatakan oleh Boerhanuddin dalam Monumen Perjuangan Jawa Timur (1986) bahwa ketika pemeriksaan di kamar Belanda, para tahanan disiksa di luar perikemanusiaan.

Tragedi Gerbong Maut

Gedung Stasiun Bondowoso, Jawa Timur 1927-1929. (Collectie Tropenmuseum, 'Foto's Het stationsgebouw te Bondowoso op Oos-Java onbekend')

Pada pukul 01.30, para tawanan tersebut dibangunkan dan diperintahkan untuk berbaris. Pada pukul 05.30 barulah tawanan yang berjumlah 100 orang dipindahkan dari Penjara Bondowoso ke Stasiun Bondowoso.

Sesampainya mereka di Stasiun Bondowoso, terdapat tiga buah gerbong barang yang menunggu para tawanan. Para tawanan segera dimasukkan ke dalam gerbong. 36 tawanan dimasukkan ke gerbong pertama GR5769, 34 tawanan di gerbong kedua GR4416, dan 30 orang lainnya berada di gerbong ketiga GR10152.

Para tawanan yang berdesakan di dalam gerbong barang yang tertutup rapat tersebut tidak kemudian berangkat. Mereka masih harus menunggu dua jam hingga sekitar jam 7.30 untuk berangkat karena masih menunggu kereta dari arah Situbondo. Siksaan tersebut tidak berhenti begitu saja, setibanya mereka di Stasiun Kalisat terdapat bunyi ledakan granat dari arah rel. Ledakan tersebut merupakan upaya sabotase yang dilakukan untuk menggagalkan pemindahan, namun naas karena ledakan tersebut tidak memberikan kerusakan pada gerbong kereta, maka kereta tetap berjalan dengan pengawasan yang lebih ketat.

Gerbong yang sesak, tanpa udara membuat para tawanan tersiksa. Ketika mereka menggedor gerbong untuk meminta air, pengawal yang bertugas hanya menjawab "Air dan angin tidak ada, yang ada hanya peluru". Mereka harus menahan panas dan haus selama kurang lebih tiga jam karena kereta masih harus berhenti di Stasiun Jember.

Lega dirasa oleh para tawanan ketika terjadi hujan lebat saat memasuki Stasiun Klakah, para tawanan yang masih hidup berusaha untuk menjilat tetesan air yang masuk melalui lubang kecil di gerbong barang yang tertutup rapat tersebut. Tetapi hal itu tidak berlaku bagi gerbong ketiga GR10152 yang merupakan gerbong baru, sehingga masih belum ada lubang yang dapat sedikit mengurangi haus para tawanan di dalam gerbong.

Memasuki Stasiun Probolinggo, terdengar keras para tawanan yang memukul gerbong. Dalam buku Na de bevrijding: de loodzware jaren 1940-1945 (2014) disebutkan bahwa tahanan yang berada dalam gerbong berteriak kepanasan. Selanjutnya di buku Monumen Perjuangan Jawa Timur (1986) diceritakan terdengar jeritan yang mengatakan bahwa 30 orang tawanan telah mati, namun Belanda menjawab dengan tenang "Biar mati semua, saya lebih senang daripada ada yang masih hidup". Pertolongan yang mereka harapkan tidak akan pernah datang dari para pengawal yang kejam.

Setelah menempuh perjalanan panjang, kereta tiba di Stasiun Wonokromo pada pukul 22.00 yang merupakan pemberhentian terakhir mereka. Ketika tiga gerbong tersebut dibuka, tidak seorang pun keluar dari gerbong sebab tidak sanggup berdiri. Boerhanuddin dan Karsono (almarhum) merangkak keluar dengan sisa tenaga dan mulai berteriak bahwa semua orang telah tewas.

Korban Gerbong Maut

Boerhanuddin bercerita dalam buku Monumen Perjuangan Jawa Timur (1986) bahwa beliau berlari mencari air untuk diberikan kepada tawanan yang masih hidup. Kemudian tawanan yang masih hidup tersebut diperintahkan untuk mengumpulkan korban yang telah gugur.

Tercatat terdapat 46 orang meninggal dunia, 12 orang sakit parah, 30 orang yang lemas tak berdaya, serta 12 orang saja yang dapat dikatakan sehat. Dari 46 orang yang meninggal dunia tersebut, terdapat 30 orang atau seluruh tawanan yang berada di dalam gerbong ketiga GR10152 yang tewas, sebab gerbong baru tersebut tidak memiliki lubang yang dapat menjadi celah bagi masuknya air maupun udara.

Para tawanan yang masih hidup harus berhati-hati mengangkat korban yang tewas ke truk yang berada di luar peron sebab daging korban tersebut dapat mengelupas akibat mati matang. Korban-korban tersebut dibawa ke Rumah Sakit Karang Menjangan Surabaya serta tawanan yang masih hidup kembali di tahan di Penjara Bubutan Surabaya pada los khusus nomor enam.

Selama kurang lebih setengah bulan Singgih beserta para pejuang lainnya dijaga keras dan dilarang untuk berkumpul dengan tawanan lainnya. Korban yang tewas tidak diketahui dengan pasti dimana mereka dimakamkan, beberapa mengatakan bahwa mayat mereka dibuang di Sungai Wonokromo serta beberapa lainnya menyebutkan bahwa para korban dimakamkan di Sidoarjo.

Tampak depan Stasiun Wonokromo, Surabaya 2020. (Wikipedia/Rizal Febri Ardiansyah)

Untuk mengenang peristiwa penuh duka ini, dibangun Monumen Gerbong Maut dengan dana pembiayaan yang diperoleh dari Pemerintah Daerah Tk. II Kabupaten Bondowoso dan dilaksanakan oleh DPU bidang Cipta Karya Bondowoso, serta diresmikan oleh Pangdam VIII Brawijaya Mayjen Witarmin. Fungsi dari monumen perjuangan Gerbong Maut ini ialah untuk pendidikan yang memupuk rasa percaya diri serta suatu bukti kemenangan pejuang Indonesia walaupun hanya menggunakan senjata yang sangat sederhana. Fungsi lainnya ialah fungsi pariwisata untuk mengenang perjuangan para pahlawan tentara Republik Indonesia.

Peristiwa Gerbong Maut ini ditetapkan sebagai peristiwa bersejarah yang pelaksanaan peringatannya ditetapkan dalam Peraturan Bupati Bondowoso Nomor 37 Tahun 2011 dengan tujuan agar masyarakat Bondowoso mewarisi semangat perjuangan, sehingga dapat memberikan motivasi dalam pelaksanaan pembangunan bagi kemajuan masyarakat Bondowoso di berbagai bidang.

Sumber:

Kartomihardjo, P., Saptono, P., dan Soekarsono. (1986). Monumen Perjuangan Jawa Timur. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional.

Mashoed. (2004). Sejarah dan Budaya Bondowoso. Surabaya: PAPYRUS.

Sukadri K, H., Soewarno, dan RA. Umiati. (1991). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya.

van Liempt, A. (2014). Na de bevrijding: de loodzware jaren 1940-1945. Amsterdam. Uitgeverij Balans.

Anderson, B., dan Djati, A. (2004). "The World of Sergeant-Major Bungkus: Two Interviews with Benedict Anderson and Arief Djati. Indonesia, No. 78. Hlm 7-60. Diakses melalui https://www.jstor.org/stable/3351287.

Yusmita, R., Sugiyanto, dan Budiyono. (2013). "SEJARAH PERISTIWA GERBONG MAUT DI BONDOWOSO TAHUN 1947 DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN". Pancaran, Volume 2, No. 4. Hlm. 187-195. Diakses melalui https://core.ac.uk/display/298990919.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image