Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ikhsan alfahri

Pemikiran Politik Jawa Orde Lama Presiden Soekarno

Sejarah | Monday, 05 Jul 2021, 19:28 WIB
Sumber Gambar : https://www.gelora.co/2017/09/nasakom-dan-g30spki_38.html

Pemikiran politik merupakan salah satu aspek yang tidak dapat dipisahkan dalam pembahasan mengenai sejarah bangsa Indonesia. Herbert Feith dan Lance Castle dalam bukunya Pemikiran Politik Indonesia 1945 – 1965 menuliskan bahwa terdapat lima aliran politik yang ada di Indonesia yaitu tradisionalisme jawa, sosialisme, komunisme, nasionalisme, dan islam.

Kelima aliran politik tersebut tentunya memberikan pengaruhnya sendiri – sendiri dalam dinamika perpolitikan bangsa Indonesia. Politik tradisional jawa merupakan salah satu konsep pemikiran politik yang sudah ada cukup lama jauh sebelum masuknya pengaruh paham – paham barat di Indonesia. Pemikiran politik jawa ini bersumber dari kebudayaan jawa itu sendiri, pengaruh agama hindu - budha, dan agama islam yang kesemuanya bercampur dalam suatu ide dan gagasan politik.

Politik jawa secara umum menekankan pada aspek manusia dan alam semesta dimana legitimasi kekuasaan didapat dengan cara – cara yang bersifat rohaniah, kosmos, dan supernatural. Legitimasi kekuasaan dari aliran politik jawa secara orsinil sejatinya telah diterapkan di dalam Kerajaan Mataram Islam di bawah pemerintahan Sultan Agung. Akan tetapi, dalam periode selanjutnya orsinilitas dari politik jawa ini mengalami perubahan baik secara fungsi maupun secara teknis penerapannya oleh tokoh – tokoh bangsa, yang mana fokus utama dalam pembahasan tulisan esai saya ini adalah periode rezim Orde Lama di bawah pimpinan Presiden Soekarno dalam kurun tahun 1959 hingga tahun 1965.

Sebelum membahas lebih lanjut, maka kita perlu memahami apa itu politik tradisional jawa. Pada dasarnya tidak ada definisi resmi dari politik jawa itu sendiri, akan tetapi merujuk pada Koentjaraningrat ( 1974 : 15 – 17 ) konsep budaya pemikiran jawa adalah sifatnya yang abstrak dan tidak dapat difoto karena ia berada dalam kepala dan alam pikiran masyarakat dimana kebudayaan itu hidup. Lebih jauh politik jawa menekankan pada pemimpin atau raja yang memiliki kekuasaan absolut, kosmis, dan mistis dimana rakyat diwajibkan memiliki kepatuhan kepada raja atau pemimpinnya yang disimbolkan dengan hubungan bapak dan anaknya atau disebut dengan istilah " bapakisme ".

Periode politik Indonesia dari sebelum tahun 1959 tepatnya saat periode demokrasi liberal yang ditandai dengan bentuk negara berupa parlemen dengan konstituante sebagai penyusun undang – undang nyatanya memberikan ruang bagi munculnya disintegrasi bangsa baik secara sosial, politik, ataupun budaya.

Hal tersebut dapat dibuktikan dengan banyak pemberontakan dan gerakan separatisme yang terjadi di Indonesia dalam kurun tersebut. Sebut saja pemberontakan Kartosuwiryo dengan pendirian Negara Islam Indonesia ( DI/TII ), PRRI/Permesta, pemberontakan PKI Madiun yang terjadi pada periode sebelumnya menunjukkan cara, ide, dan gagasan politik yang diterapkan oleh pemimpin Bangsa Indonesia saat itu tidak dapat dapat diterapkan atau tidak sesuai dengan kondisi sosial – politik yang ada.

Politik Jawa walaupun tidak diterapkan secara langsung tetapi memilki implikasi kuat di dalam pemikiran politik yang tumbuh di Indonesia terutama dalam usaha – usaha mencegah disintegrasi bangsa. Konstituante dalam hal ini merupakan salah satu wadah lembaga dari penyebab disintegrasi bangsa Indonesia, dimana konstituante yang terdiri atas berbagai aliran politik berbeda gagal membentuk satu undang – undang baru bagi bangsa Indonesia. Intensitas perpecahan politik semakin terlihat dengan pemberontakan – pemberontakan yang terjadi dengan melibatkan beberapa parati politik dengan aliran tertentu di dalamnya.

Dalam mengatasi hal tersebut Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit presiden yang menandai dimulainya periode Orde Lama di Indonesia. Periode Orde lama secara umum digambarkan dengan suatu rezim yang otoriter dan demokrasi yang semu. Saya akan memulai dengan melihat kebijakan Soekarno dengan politik tradisional jawanya dalam mengatasi problematika disintegrasi di Indonesia. Kebijakan pertama yang sangat terlihat dalam hal ini adalah Nasakom.

Nasakom sendiri digunakan Soekarno untuk menyatukan aliran – aliran politik utama yang berkembang saat itu dengan mengsinkritismekan komunisme, nasionalisme, dan islam ke dalam nasakom. Dilihat dengan kacamata politik jawa, apa yang dilakukan oleh Soekarno adalah sinkritisme yang identitik dengan politik jawa. Seperti yang sudah dijelaskan politik jawa merupakan penggabungan dari kebudayaan asli jawa, hindu – budha, dan islam. Sinkritisme Nasakom ini dapat kita pahami sebagai usaha dari Soekarno dalam menyatukan aliran – aliran politik yang di Indonesia, yang sebelumnya terpecah – pecah menjadi satu kesatuan.

Rezim Orde Lama juga identik dengan kedekatannya dengan kaum militer dan kaum komunis. Kedekatan yang ditunjukan Soekarno dalam hal ini yang sejatinya telah dimulai di tahun 1958 merupakan usaha menghimpun kekuatan yang ditujukan untuk legitimasi kekuasaan. Selain untuk memperkuat kekuasaan, hal tersebut juga menunjukkan perlawanan terhadap konstituante sebagai perwakilan dari partai politik yang ada.

Dalam konteks politik jawa, kekuasaan berbentuk mandala ( lingkaran ) yang diartikan ketika pusat lingkaran atau pemimpin tersebut menguat maka pihak lain akan kehilangan kekuasaan. Ketika Soekarno berhasil menghimpun kekuatan dalam kekuasaannya maka praktis konstituante mengalami penurunan kekuasaan. Dalam hal ini aspek yang ditonjolkan dalam politik jawa adalah tidak adanya pembagian kekuasaan, sehingga pemimpin tunggal dalam hal ini Soekarno merupakan sosok satu – satunya pemilik kekuasaan tersebut.

Pada dasarnya apa yang dilakukan Soekarno dalam rangak menghimpun kekuatan merupakan usahanya menyelamatkan Bangsa Indonesia dalam konflik politik yang terus menerus terjadi di konstituante. Jika kita telisik secara lebih mendalam pidato Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 dimana ia mengatakan akan melakukan retooling terhadap seluruh aspek perpolitikan di Indonesia.1

Dapat kita pahami bahwa politik Jawa yang tampak adalah tidak adanya pengaruh oposisi dari kebijakan yang dikeluarkan Soekarno. Sebagai contoh retoolong terhadap DPR merupakan bentuk politik jawa yang tidak mengehendaki adanya pembagian kekuasaan. Memang dalam rezim Orde Lama ini kebijakan yang dilakukan semata – mata menjadikan negara dengan satu buah pimpinan dengan harapan agar peristiwa perpecahan yang terjadi pada periode sebelumnya akibat pertentangan – pertentangan politik dapat diminimalisir dan bahkan dihilangkan.

Langkah kebijakan Soekarno dalam periode Orde Lama dalam konteks mencegah disintegrasi adalah penggunaan simbol – simbol serta istilah – istilah tertentu yang mana hal tersebut dijadikan propagandanya dalam usaha mempertahankan kekuasaan dan integrasi bangsa. Penggunaan simbol dan istilah yang demikian itu merupakan salah satu bentuk politik tradisional jawa yang diterapkan oleh Soekarno. Penggunaan istilah Marhaen, Nasakom, Manipol, dan lain sebagainya yang secara tidak langsung merupakan usaha dari Soekarno di dalam periode ini yang mana ia berusaha agar seluruh lapisan masyarakat memilki cara pandang yang sama dengan dirinya.

Kebijakan – kebijakan yang telah disebutkan diatas merupakan salah satu bentuk penerapan politik tradisional jawa yang telah mengalami perubahan sedemikian rupa – mengikuti perkembangan zaman moderen. Presiden Soekarno dalam hal ini menitikberatkan sinkritisme dalam menyatukan aliran dan golongan yang ada dalam masyarkat.

Bagi penulis konsep politik jawa yang diterapkan oleh Presiden Soekarno menunjukkan bahwa konsep politik tradisional khas Indonesia ini masih memilki relevansi serta substansi di dalamnya dalam kancah perpolitikan. Secara lebih lanjut konsep politik jawa menjadi pemersatu dan pencegahan disintegrasi bangsa Indonesia yang sejatinya hidup dalam masyarakat yang heterogen.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image