Rabu 07 Jul 2021 07:41 WIB

Kebijakan Pangan Terbuka Dukung Tercapainya Ketahanan Pangan

Kebijakan pangan terbuka semakin relevan untuk Indonesia dalam menghadapi pandemi

Rep: Dedy Darmawan Nasution / Red: Hiru Muhammad
Sejumlah petani memanen padi di persawahan Svarga Bumi, Desa Ngadiharjo, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Sabtu (6/3/2021). Svarga Bumi merupakan tempat wisata baru di kawasan Candi Borobudur yang mengusung konsep perpaduan wisata dengan pertanian guna meningkatkan perekonomian warga setempat sekaligus untuk ketahanan pangan. ANTARA FOTO/Anis Efizudin/wsj.
Foto: ANTARA FOTO/Anis Efizudin
Sejumlah petani memanen padi di persawahan Svarga Bumi, Desa Ngadiharjo, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Sabtu (6/3/2021). Svarga Bumi merupakan tempat wisata baru di kawasan Candi Borobudur yang mengusung konsep perpaduan wisata dengan pertanian guna meningkatkan perekonomian warga setempat sekaligus untuk ketahanan pangan. ANTARA FOTO/Anis Efizudin/wsj.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Kebijakan pangan terbuka, tanpa hambatan-hambatan nontarif, dibutuhkan untuk memastikan penduduk Indonesia mampu mengakses pangan yang mencukupi dan dengan harga terjangkau, dan dengan demikian mendorong tercapainya ketahanan pangan nasional serta pengentasan kemiskinan.

“Walau tujuan kebijakan nontarif adalah untuk melindungi konsumen domestik dari kejutan harga pangan global, kebijakan ini juga yang menyebabkan harga menjadi lebih mahal dalam jangka panjang,” kata Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Arumdriya Murwani, Selasa (6/7).

“Selain itu, meskipun kebijakan non-tarif digunakan untuk melindungi petani domestik, petani juga menjadi korban dari harga pangan yang tinggi karena dua pertiga dari petani kecil merupakan net consumer yang masih harus membeli makanan lebih dari yang dihasilkan sendiri,” katanya menambahkan.

Korelasi harga pangan dan kemiskinan sudah lama dibuktikan, karena harga pangan tinggi merugikan konsumen ditambah penghasilan paling kecil, yang proporsi pengeluaran rumah tangga untuk pangan lebih besar dari rata-rata, bahkan mencapai 64,8 persen menurut BPS.

Kebijakan pangan terbuka semakin relevan untuk Indonesia dalam menghadapi pandemi Covid-19 dan juga masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat  ketika pemerintah harus dapat menjamin ketersediaan pasokan pangan di pasar. Kelangkaan pasokan akan meningkatkan harga dan menurunkan daya beli masyarakat, terutama mereka yang rentan dan mata pencahariannya sudah terdampak pandemi.

Penelitian CIPS menunjukkan, pengurangan kebijakan nontarif pada komoditas beras dan daging diperkirakan dapat menurunkan kemiskinan hingga 2,8 poin persentase.

Dalam simulasi ini, masyarakat pedesaan adalah yang paling diuntungkan penurunan harga akibat pengurangan kebijakan non-tarif, terutama yang menghambat rantai pasok pangan, seperti proses izin impor yang tidak transparan, inspeksi pra-pengiriman atau persyaratan teknis importasi, yang berada dibalik harga pangan yang tinggi.

Dampak hambatan non-tarif pada sektor pangan dan pertanian di Indonesia diperkirakan setara dengan tarif sebesar 49 persen. Biaya ini muncul dari biaya kepatuhan untuk memenuhi persyaratan dan prosedur serta biaya dari keterlambatan proses impor. Adanya pungutan liar juga menambah beban biaya yang pada akhirnya ditimpakan kepada konsumen.

Kebijakan perdagangan pangan yang lebih terbuka juga bisa menutup celah-celah rente yang masih menghantui sistem pangan Indonesia. Beberapa kasus korupsi besar di Indonesia terkait dengan sistem perizinan impor, seperti di daging sapi, bawang putih, dan gula. Reformasi sistem perizinan impor pangan yang lebih otomatis dan transparan bisa memitigasi risiko korupsi.

“Sebagai contoh, Filipina sudah mengganti prosedur kuota impor berasnya menjadi kebijakan tarif yang lebih transparan. Kebijakan serupa bisa dipertimbangkan juga di Indonesia,” jelasnya.

Agar petani tidak terlalu terdampak oleh perdagangan pangan yang lebih terbuka, kebijakan perdagangan pangan harus disertai dengan kebijakan modernisasi pertanian domestik dan pemberian bantuan input pertanian seperti pupuk, benih, irigasi dan pestisida  untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing untuk dapat berkompetisi di ranah global .

“Hanya saja, strategi penyediaan input pertanian untuk mendukung usaha ini harus memastikan bahwa bantuan diterima langsung oleh petani dan mendorong petani menyadari pentingnya penggunaan input yang optimal dan berimbang. Biaya yang dikeluarkan juga akan terbayar kelak oleh produktivitas yang meningkat,” kata dia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement