Rabu 14 Jul 2021 10:40 WIB

AS Tambah Peringatan Larangan Bisnis dengan Xinjiang

Perusahaan yang melakukan bisnis di Xinjiang berisiko tinggi melanggar hukum AS

Red: Nur Aini
Amerika Serikat (AS) pada Selasa (14/7) meningkatkan kewaspadaannya terhadap perusahaan-perusahaan yang ingin melakukan bisnis di provinsi Xinjiang, China.
Amerika Serikat (AS) pada Selasa (14/7) meningkatkan kewaspadaannya terhadap perusahaan-perusahaan yang ingin melakukan bisnis di provinsi Xinjiang, China.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Amerika Serikat (AS) pada Selasa (14/7) meningkatkan kewaspadaannya terhadap perusahaan-perusahaan yang ingin melakukan bisnis di provinsi Xinjiang, China.

Negara itu memperingatkan praktik kerja paksa yang meluas dan pelanggaran hak yang sedang berlangsung di wilayah China tersebut, dan AS dapat mengekspos perusahaan-perusahaan di sana soal bahaya pelanggaran hukum.

Baca Juga

“Mengingat berat dan luasnya pelanggaran ini, termasuk kerja paksa yang disponsori negara dan pengawasan yang mengganggu yang terjadi di tengah genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang sedang berlangsung di Xinjiang, bisnis dan individu yang tidak keluar dari rantai pasokan, usaha, dan/atau investasi terkait ke Xinjiang bisa berisiko tinggi melanggar hukum AS," kata dalam sebuah nasihat.

Peringatan, yang awalnya dikeluarkan pada 2020, sedang diperkuat untuk memberitahu perusahaan yang melakukan bisnis di Xinjiang bahwa mereka berisiko melanggar undang-undang AS yang melarang perusahaan untuk secara sadar mengambil manfaat dari kerja paksa, bahkan jika mereka melakukannya secara tidak langsung.

"Bisnis dan individu harus mempertimbangkan kesulitan ini, serta tanda-tanda peringatan dan laporan yang kredibel tentang prevalensi kerja paksa dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya di wilayah tersebut," ujar dia.

Peringatan itu mencakupi perusahaan AS dan juga ditargetkan pada perusahaan modal ventura dan ekuitas swasta. AS, di bawah mantan Presiden Donald Trump, mengumumkan China melakukan genosida terhadap populasi minoritas Muslim Uighur di Xinjiang, dan tekad itu terus berlanjut di bawah pemerintahan Presiden AS Joe Biden.

Pemerintah China secara rutin menyangkal keberadaan kamp konsentrasi, meski ada banyak bukti sebaliknya. Hingga satu juta Muslim Uighur diyakini ditahan di kamp-kamp.

Beijing mengklaim kamp-kamp itu adalah "pusat pendidikan ulang", yang dibangun untuk mendidik penduduk setempat dan mengajarkan keterampilan baru. Namun, para penyintas dan mantan tahanan telah berbicara tentang tindakan penyiksaan yang brutal dan tidak manusiawi, baik fisik maupun psikologis, termasuk sterilisasi paksa terhadap perempuan Uighur.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement