Senin 19 Jul 2021 19:32 WIB

Jika Produk tak Terjual, Biarkan Branding Bekerja

Penting membentuk brand sejak jauh sebelum terjadi krisis.

Rep: wartaekonomi.co.id/ Red: wartaekonomi.co.id
Raja Branding: Jika Produk Tak Mampu Terjual, Maka Biarkan Branding yang Bekerja (Foto: Twitter/Sumbo Tinarbuko)
Raja Branding: Jika Produk Tak Mampu Terjual, Maka Biarkan Branding yang Bekerja (Foto: Twitter/Sumbo Tinarbuko)

Raja branding, Subiakto Priosoedarsono mengungkap, brand adalah persepsi yang ada di benak konsumen. Pada 1990an, belum ada branding. Tetapi, komunikasi pemasaran di dalamnya termasuk logo dari produk. Itulah cikal bakal branding.

Dalam video YouTube Helmy Yahya 'Ngomong Branding Dengan Raja Branding', Subiakto mengakui, saat ini branding termasuk ke dalam bagian marketing. Padahal, branding menyumbang intangible asset atau aset tidak berwujud yang nilainya bisa lebih tinggi dari marketing yang menjual produk. Seperti Coca-cola, valuasinya besar dari brand bukan dari produknya. Sama halnya seperti Gojek yang total valuasinya melebihi Garuda yang memiliki pesawat atau aset.

Baca Juga: Ambil Alih Vision88, Fudosan Toshi Garap Bisnis Digital Indonesia

Karena itu, Subiakto berujar posisi marketing dan branding sejatinya sejajar. Banyak yang tidak menyadari, brand adalah jaminan pendapatan di masa depan. Misalnya, ada pabrik sepatu non brand dipinjamkan brand oleh NIKE, sudah pasti penjualannya akan melonjak berkali-kali lipat.

Perusahaan seharusnya sadar, dalam dunia modern, membesarkan branding memberikan nilai lebih tinggi daripada hanya mengumpulkan aset-aset fisik.

Subiakto mengutip pernyataan Steve Jobs yang mengatakan, brand adalah kepercayaan. Tinggal bagaimana kepercayaan itu tercipta. Entah dari produknya, penjualnya, perusahaannya atau dari negara penjualnya.

Jika percaya pada produknya, maka bangunlah product brand. Jika percaya pada pemiliknya atau penjual produknya, maka bangunlah personal branding. Kalau percaya pada perusahaannya maka bangunlah corporate brand. Dan jika memiliki banyak uang serta upaya-upaya yang maksimal, maka bangunlah semuanya, meski itu perjalanan panjang dan cukup sulit.

Subiakto bercerita, saat Mayora hendak go public, ia membuat branding 'Satu lagi dari Mayora'. Itu dilakukan karena tidak ada dana untuk membangun corporate brand. Karena itulah ditempelkan produk yang terkenal dari Mayora seperti Kopiko, Biskuit Roma, dan lain-lain ke dalam brand tersebut.

"Biarkan produk yang berbicara dari corporate brand," ujar Subiakto.

Lebih lanjut, Subiakto mengungkap untuk UMKM maka lebih baik bangunlah personal branding. Ini karena UMKM lebih lincah dan gesit karena kecil, serta bisa gonta-ganti produk. Terkait personal branding, Subiakto mengungkap, setiap nama berhak menjadi brand.

"Kalau Anda memiliki nama, maka Anda bisa menjadi brand," ujarnya.

Membangun personal branding harus didasarkan pada apa yang akan kita tinggalkan jika sudah tidak ada di dunia. Karena itu, sebisa mungkin membangun legacy. Setelahnya, carilah kompetensi apa yang kita miliki untuk dapat diakui sebagai prestasi.

Membangun personal branding juga harus dari inventory seperti buku, film, karya, logo, tagline dan lain-lain sehingga membangun persepsi. Yang penting adalah menentukan inventory yang cocok. Subiakto mengungkap, otak manusia hanya mampu mengenali 7 brand di otaknya. Adapun tiga di antaranya adalah The Top of Mind.

Subiakto juga mengakui bahwa personal branding adalah persepsi seseorang oleh seseorang. Jika diurutkan maka menjadi persepsi, ekspektasi, reaksi dan yang terakhir adalah aksi.

Personal brand yang biasa dilakukan Subiakto ada tiga yaitu 'Siapa Anda', yang kedua 'Publik mendapat manfaat apa', kemudian yang ketiga adalah 'Publik menjadi siapa yang mendapat manfaat dari Anda'.

Lebih lanjut, Subiakto mengungkap, pada dasarnya semua brand memiliki produk. Baik yang berwujud atau tidak berwujud. Dalam menciptakan sebuah brand, Subiakto mengaku bahwa memang diperlukan disruptive product.

Selain itu ada juga tagline yaitu kalimat indah dari suatu positioning yang dibangun dari tiga hal yaitu yang pertama adalah keahlian, lalu value, dan terakhir added value, barulah positioning. Sehingga tagline-nya bisa menjadi satu kesatuan semisal menjadi tagline 'Dokter penolong yang menyenangkan', ujar Subiakto.

Terakhir, Helmy Yahya menegaskan, personal branding bukanlah atribut sesaat tetapi hasil dari perjalanan panjang seseorang. Ketika ingin membangun personal branding untuk UMKM, maka bangunlah kepercayaan kepada orangnya. Menjadi populer tidak terlalu penting, yang penting adalah tepat sasaran.

Terlebih, di tengah pandemi seperti ini, Subiakto menuturkan jika produk tak mampu terjual, maka biarkan brand yang bekerja. Karena itu, penting membentuk brand sejak jauh sebelum terjadi krisis. Jika krisis terjadi, maka orang-orang akan mencari brand Anda.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement