Selasa 20 Jul 2021 11:14 WIB

Ke Tanah Suci, Kesempatan yang Terlepas dari Genggaman

Mungkin kita sedang diminta fokus melihat sekitar yang bisa dibantu.

Red: Joko Sadewo
 Jamaah haji tengah memanjatkan doa di Jabal Rahmah, saat menunaikan ibadah wukuf di padang Arafah, Senin (19/7).
Foto: AP/ Amr Nabil
Jamaah haji tengah memanjatkan doa di Jabal Rahmah, saat menunaikan ibadah wukuf di padang Arafah, Senin (19/7).

Oleh : Reiny Dwinanda, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Salah satu hal yang membuat saya betah di Republika adalah adanya kesempatan untuk pergi haji dari kantor. Liputan haji, tepatnya.

Kenyataannya, sudah 20 tahun saya di Republika, kesempatan itu belum juga datang. Padahal, seluruh teman seangkatan saya sudah liputan haji lho.

Tahun demi tahun, selalu saja saya terlewati. Seiring waktu saya sadar, rezeki untuk berhaji memang tak seperti urut kacang. Tak seperti yang saya asumsikan, "nah, si A sudah, sebentar lagi saya nih". Tidak begitu, ternyata.

Tentu banyak faktor yang membuat seorang wartawan pantas liputan haji. Ada sederet syarat ketat yang harus dipenuhi untuk bisa lolos seleksi.

Kalau diresapi, saya minder banget, belum pantes memang. Modal ibadah, amal, pengetahuan agama, dan kemampuan fisik saya terbatas. Padahal, menjadi petugas haji itu berat, sebab tugasnya menjadi pelayan jamaah, bukan "enak-enakan" beribadah thok. Belum lagi harus mengirim berita dari Tanah Suci.

Saya selalu terkesima mendengar cerita teman-teman yang pernah liputan haji. Mulai dari mengangkat kopor jamaah yang tercecer hingga mengantar jamaah sepuh yang tak tentu di mana rombongan dan penginapannya. Masya Allah...Mulianya tugasnya...Semoga teman-teman semua menjadi haji mabrur ya, aamiin...

Kendati liputan haji itu berat, saya berharap betul bisa terpilih. Apalagi, daftar tunggu haji sekarang sudah sampai 20-30 tahun. Saya bisa berangkat lebih cepat kalau dapat kesempatan liputan haji.

Tapi, kini, kita semua harus menunggu. Bahkan, orang yang sudah membayar penuh pun tak bisa berangkat sejak tahun lalu.

Saya paham sedihnya, rindunya pada Tanah Suci. Sungguh, bersujud langsung menghadap Ka'bah itu nikmat banget. Bermunajat di Multazam itu syahdu sekali.

Alhamdulillah saya pernah mendapat rezeki berumroh, haji kecil, dari kantor. Mata saya selalu basah mengingat berlikunya kesempatan itu untuk bisa digapai.

Tahun sebelumnya, pemred mengabarkan bahwa saya ditugaskan liputan umroh bersama salah satu biro umroh klien kantor. Selang dua jam dari kabar gembira itu tiba, kantor menginformasikan tugas itu dialihkan ke kawan lain. Ya Allah, lepas deh...semudah itu rezeki terlepas dari genggaman...

Sedih? Pasti! Kecewa? Sangat! Tapi, saya yakin, segala sesuatunya datang dari Allah Swt.

Beberapa bulan kemudian, undangan ke Korea Selatan masuk ke e-mail. Saya meneruskannya ke pemred, mana tahu diizinkan. Itung-itung pelipur lara, haha...

Penolakannya tak membuat saya sedih. Ah, Korea, "cuma" menyambangi lokasi-lokasi syuting drakor. Nggak rugi-rugi amat rasanya.

Tapi, sesungguhnya asa untuk ke Tanah Suci tak pernah padam. Makin hari, saya makin mudah tersentuh dengan segala hal tentang Tanah Suci. Saya bahkan mewek, nangis tersedu saat menonton di TV film Emak Ingin Naik Haji yang diadaptasi dari novel laris Asma Nadia. Sambil nonton, saya ikut melafazkan "labaik allahuma labaik... " sembari menyeka air mata.

Februari 2017, kabar baik itu tiba. Saya semringah. Kali ini beneran, liputan umroh ditugaskan kepada saya. Luar biasanya lagi, saya nggak perlu sibuk menyiapkan apapun. Koper berikut pakaian dan mukena sudah disediakan pengundang. Benar-benar hanya bawa badan. Penginapannya pun "kepleset juga nyampe" ke Masjidil Haram. Sungguh nyaman buat kaki saya yang sudah beberapa kali dioperasi.

Saya ingat betul, Pak Haji Budi Prayitno, pembimbing umroh bersama Elcorps sempat bilang, "Jangan berkecil hati kalau ke Tanah Suci bukan atas biaya sendiri. Jangan juga besar hati kalau membayari orang ke Tanah Suci. Sebab, ini Allah Swt yang mengundang. Orang-orang pilihan-Nya yang diundang, dimampukan dengan berbagai cara."

Masya Allah...Alhamdulillah... Allahu Akbar...

Teringat pesan Pak Budi soal "undangan langsung dari Allah Swt", saya pikir mungkin saat ini kita memang belum dapat undangannya. Jumlah undangannya masih sangat terbatas.

Ikhtiarnya mungkin sudah maksimal, tetapi Allah Swt belum berkehendak menjamu kita sebagai tamu-Nya. Selagi menanti undangan itu tiba, mari kita terus memantaskan diri. Sementara Iduladha identik dengan berkurban, mari kita gencarkan gerakan berbagi dengan sesama. Mungkin, Allah Swt ingin pada Iduladha tahun ini, kita lebih peduli lagi terhadap sekitar. Mungkin, di antara uang yang kita simpan ada rezeki kawan yang kehilangan pekerjaan akibat pandemi, ada rezeki tetangga atau saudara yang kehilangan tulang punggung keluarganya setelah kena Covid-19.

Pandemi ini memang bukan saja menguji dan melatih resilensi kita sebagai pribadi, tetapi juga sebagai umat. Mungkin Allah Swt mau konsentrasi kita dalam memenuhi rukun Islam kelima, mendulang amal, mencari rida di Tanah Suci dialihkan dengan lebih memprioritaskan sesama di saat-saat sulit seperti ini. Di saat kita merencanakan untuk khusyuk menjalankan rukun haji, mungkin kita sedang diminta fokus melihat sekitar yang bisa dibantu. Keikhlasan menyediakan waktu, perhatian, dan materi yang kita miliki sedang diuji. Jangan-jangan itu juga bentuk rasa syukur kita yang Allah Swt ingin lihat.

Semoga kelak, setelah kita makin memantaskan diri dengan menjadi calon-calon haji mabrur, undangan itu tak lagi lepas dari genggaman, Allah Swt izinkan dan rida kita berangkat ke Tanah Suci, aamiin allahuma aamiin...

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement