Kamis 22 Jul 2021 19:09 WIB

Reporters Without Borders Desak Israel Setop Ekspor Spyware

Spyware Pegasus milik Israel dapat meretas dan memanfaatkan mikrofon ponsel.

Rep: Alkhaledi Kurnialam/ Red: Ani Nursalikah
Reporters Without Borders Desak Israel Setop Ekspor Spyware
Foto: PxHere
Reporters Without Borders Desak Israel Setop Ekspor Spyware

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Organisasi internasional Reporters Without Borders (RSF) mendesak Israel menangguhkan ekspor teknologi mata-mata atau spyware ke berbagai pihak. Desakan ini muncul di tengah klaim teknologi itu digunakan untuk menargetkan puluhan kepala negara dan ratusan orang.

Awal pekan ini sebuah daftar bocor dari sekitar 50 ribu nomor telepon yang diyakini telah dipilih klien NSO Group Israel untuk kemungkinan mata-mata. "Memungkinkan pemerintah memasang spyware yang digunakan dalam praktik untuk memantau ratusan sumbangan dan sumbernya di seluruh dunia menimbulkan masalah umum demokrasi yang besar," kata Sekretaris RSF Christophe Deloire dalam sebuah pernyataan, dilansir dari Aljazirah, Rabu (21/7).

Baca Juga

“Kami meminta Perdana Menteri Israel Naftali Bennett segera memberlakukan moratorium ekspor teknologi pengawasan sampai kerangka peraturan perlindungan telah ditetapkan,” tambahnya.

Program unggulan NSO, Pegasus, dapat meretas ponsel tanpa sepengetahuan pengguna, memungkinkan klien membaca setiap pesan, melacak lokasi pengguna, dan memanfaatkan kamera dan mikrofon ponsel. NSO memiliki kontrak dengan 45 negara dan mengatakan kementerian pertahanan Israel harus menyetujui kesepakatannya.

Pelaporan oleh outlet media termasuk The Guardian, Le Monde, dan The Washington Post menemukan, hampir 200 orang ada dalam daftar. Daftar itu dibagikan kepada outlet berita oleh jurnalisme nonprofit Forbidden Stories yang berbasis di Paris dan kelompok hak asasi manusia Amnesty International.

Daftar yang bocor didominasi nomor dari 10 negara, seperti Azerbaijan, Bahrain, Hongaria, India, Kazakhstan, Meksiko, Maroko, Rwanda, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab. Mereka yang mungkin diawasi termasuk Perdana Menteri Pakistan Imran Khan, Presiden Prancis Emmanuel Macron, dan pemimpin oposisi India Rahul Gandhi.

Juru bicara NSO, Bennett dan Menteri Pertahanan Benny Gantz tidak menanggapi pertanyaan dari kantor berita AFP pada Rabu (21/7). NSO adalah raksasa teknologi Israel dengan 850 karyawan.

CEO NSO Shalev Hulio (39 tahun)membantah dalam sebuah wawancara dengan radio 103 FM Israel pada Selasa bahwa perusahaannya terlibat dalam mata-mata massal. Dia mengatakan NSO tidak memiliki koneksi ke daftar ribuan nomor telepon.

Puluhan negara dilaporkan telah membeli teknologi Israel. “Dari setiap Rp 1,3 juta yang diinvestasikan dalam pertahanan siber di seluruh dunia, Rp 594 ribu di antaranya diinvestasikan di perusahaan pertahanan siber Israel,” katanya.

“Kami sebagai pemerintah, kami sebagai bangsa, harus membela diri,” tambah Bennett.

Dia menyarankan minat global pada teknologi Israel tetap kuat, dengan mengatakan puluhan negara menandatangani memorandum untuk mendapatkan alat Israel yang bertahan dari serangan siber. Pada Selasa, Gantz mengatakan Israel menyetujui ekspor teknologi hanya kepada pemerintah secara eksklusif untuk tujuan mencegah dan menyelidiki kejahatan dan terorisme. Dia mengatakan Israel sedang mempelajari publikasi terbaru tentang masalah ini.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement