Senin 26 Jul 2021 12:19 WIB

Kemenkeu: Tangani Pandemi Butuh Dana

Pemerintah lebarkan defisit guna dukung kesehatan, beri bansos, & dunia dunia usaha.

Rep: Novita Intan/ Red: Fuji Pratiwi
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman. Kementerian Keuangan menyebut, pemerintah memperlebar defisit APBN guna menyelamatkan masyarakat dan ekonomi Indonesia saat pandemi.
Foto: Republika/Prayogi
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman. Kementerian Keuangan menyebut, pemerintah memperlebar defisit APBN guna menyelamatkan masyarakat dan ekonomi Indonesia saat pandemi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan Luky Alfirman menjelaskan, ada tiga fokus pemerintah untuk menyelesaikan pandemi Covid-19. Ketiganya adalah menyediakan pendanaan untuk mendukung sektor kesehatan (vaksinasi gratis, perawatan pasien Covid-19, insentif tenaga kesehatan, dan lainnya), memberikan perlindungan sosial bagi masyarakat, dan dukungan kepada dunia usaha.

Untuk membiayai itu semua, maka Kementerian Keuangan memperlebar target defisit APBN. Sebab kebutuhan belanja meningkat signifikan.

Baca Juga

"Membiayai program tersebut, uangnya dari mana? Ada tidak uangnya? Padahal kita tahu, penerimaan negara, pajak misalnya, terjadi penurunan signifikan seiring dengan penurunan aktivitas ekonomi dengan social distancing," ucap Luky dalam sebuah webinar seperti dikutip Senin (26/7).

Sebelum pandemi, Kementerian Keuangan menargetkan defisit APBN sebesar 1,76 persen dari PDB atau sekitar Rp 300 triliun pada 2020 lalu. Namun, pemerintah mengubah ketentuan defisit sehingga angkanya diperlebar menjadi di atas tiga persen.

Pada tahun ini, pemerintah menargetkan defisit APBN sebesar Rp 1.006,4 triliun atau 5,7 persen dari PDB. Sedangkan, per semester satu 2021 realisasinya telah mencapai Rp 283,2 triliun setara 1,72 persen dari PDB.

Luky menuturkan, menutupi defisit itu menggunakan penerbitan surat utang negara (SUN) atau surat berharga negara (SBN). Penerbitan utang pun memiliki tantangan tersendiri lantaran pasar keuangan tidak lepas dari dampak pandemi.

Ia mengakui, DJPPR mendapatkan tugas luar biasa berat di tengah kondisi pandemi yang juga berimplikasi pada sektor keuangan, baik domestik maupun global. "Kami cari pembiayaan padahal kondisi sektor keuangan belum kondusif. Terjadi capital outflow dari negara berkembang, jadi bukan hanya dari Indonesia," kata dia.

Kementerian Keuangan mencatat jumlah utang pemerintah Indonesia sebesar Rp 6.418,15 triliun atau setara 40,49 persen dari produk domestik bruto (PDB) per akhir Mei 2021. Adapun jumlahnya turun Rp 109,14 triliun dalam sebulan terakhir dari Rp 6.527,29 triliun atau 41,18 persen dari PDB pada akhir April 2021. Namun jika dibandingkan Mei 2020, jumlah utang pemerintah naik Rp 1.159,58 triliun dari Rp 5.258,57 triliun atau 32,09 persen dari PDB.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement