Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Yudhi Hertanto

Rapuhnya Demokrasi di Hadapan Oligarki

Politik | Tuesday, 27 Jul 2021, 13:26 WIB
ilustrasi: google

Elitnya elit. Demikian oligarki dapat dipahami sebagai sebuah kosakata politik secara sederhana. Kelompok kecil yang bekerja secara tertutup, memiliki pengaruh teramat besar.

Dalam diksi berbeda, disebut sebagai core of the core, intinya inti. Berbeda dengan rumusan buram elit global yang dimuat dalam teori konspirasi. Oligarki adalah kata yang merujuk pada konteks ruang politik.

Upaya untuk menjelaskan keberadaan oligarki dalam tubuh kehidupan demokrasi, tertuang di buku Firman Noor, Oligarki dan Demokrasi, 2021, dapat menjadi rujukan yang mencerahkan.

Bekerjanya sistem oligarki, menurut profesor yang juga menjadi Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI ini, menyebabkan gangguan dalam demokrasi menuju elitisme dan pragmatisme.

Konsentrasi kekuasaan menjadi sangat sentralistik, terpusat pada segelintir pihak yang membuat demokrasi sebatas nilai kalkulasi kepentingan, bahkan dengan jargon populis.

Hal tersebut menjadi anomali, elitnya elit -creme de la creme bertindak menjadi pengatur segalanya. Dalam format demokrasi, oligarki berfokus pada porsi distribusi kekuasaan.

Pada kerangka struktural, oligarki menjadi pertanda terjadinya kegagalan untuk membangun demokratisasi internal partai politik. Situasi itu, menyebabkan pertemuan ruang kekuasaan di wilayah politik dengan kepentingan modal.

Demokrasi yang diharapkan menjadi sarana bagi perwujudan kepentingan bersama, sebagaimana cita-cita pembentukan sebuah negara yang dilandasi imajinasi kebaikan bersama -bonum commune mengalami pergeseran -distorsi hingga kemunduran -regresi.

Kerapuhan demokrasi terjadi, manakala panggung politik hanya dijadikan sebagai lapangan dalam upaya mengeksploitasi kepentingan pemilik modal. Para aktor politik dan ekonomi saling menjalin relasi nan padu.

Bertautnya dua bidang kepentingan, yakni ekonomi dan politik merupakan penentu hajat hidup publik, menjadi sangat bergantung pada tangan kekuasaan yang dimiliki oleh sedikit pihak. Oligarki terbentuk.

Kehadiran oligarki semakin mengukuhkan kesenjangan sosial, termasuk keterpinggiran publik dalam agenda kebijakan, meski legitimasi politiknya bisa diperoleh dengan menampilkan citra yang populis, sebatas kampanye.

Kajian oligarki, menurut Jeffrey Winters, 2016, diakibatkan konsentrasi kekayaan dan kekuasaan bertumpuk pada sekelompok orang. Tidak terjadi partisipasi, menciptakan ketidaksetaraan.

Dengan begitu, oligarki, sebut Winters tidak lain sesungguhnya adalah strategi wealth defense, upaya mempertahankan kesejahteraan dengan menggunakan kemampuan finansial untuk memperoleh dominasi kekuasaan. Pada akhirnya akumulasi kekayaan terjadi secara siklik.

Pada paparan yang lain, Faisal Basri, 2020, mengurai kerja oligarki yang disangga dengan semakin berbiaknya fenomena korupsi. Hal terbesar dalam kerangka korupsi, terang Faisal, terletak di ruang kebijakan perundang-undangan.

Melalui ketentuan hukum, proses akumulasi bagi oligarki terjadi secara sistemik. Tiga hal penting terjadi, (i) kuantitas pembangunan berkurang, (ii) kualitas hasil pembangunan rendah, dan (iii) efek kerugian menjadi tanggungan publik.

Demokrasi adalah sarana menuju kesejahteraan yang menjadi milik publik. Upaya merawat demokrasi dapat terjadi melalui (i) pembenahan kelembagaan partai serta sistem politik, (ii) pelibatan kekuatan masyarakat sipil dalam melakukan kontrol dan keberimbangan -checks and balances.

Pada akhirnya seluruh hal yang bersinggungan dengan ekonomi dan politik, dalam ranah demokrasi, sejatinya ditujukan bagi upaya membangun rasa kemanusiaan, memenuhi keadilan dan keberadaban.

Sayangnya, oligarki berada di alam kerangka berpikir serta jalan yang berbeda. Kita perlu waspada!

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image