Senin 02 Aug 2021 14:51 WIB

Kemiskinan Memaksa Kaum Ibu di Kenya Berhenti Menyusui

Kenya sempat membanggakan tingkat menyusui yang cukup baik pada tahap awal

Red: Nur Aini
Tingkat ibu menyusui di Kenya, Afrika Timur, turun saat bayi memasuki umur 4-5 bulan menjadi 42 persen, padahal pada tahap awal atau saat berumur 0-1 bulan tingkat menyusui di negara itu mencapai 84 persen.
Tingkat ibu menyusui di Kenya, Afrika Timur, turun saat bayi memasuki umur 4-5 bulan menjadi 42 persen, padahal pada tahap awal atau saat berumur 0-1 bulan tingkat menyusui di negara itu mencapai 84 persen.

 

REPUBLIKA.CO.ID, NAIROBI -- Tingkat ibu menyusui di Kenya, Afrika Timur, turun saat bayi memasuki umur 4-5 bulan menjadi 42 persen, padahal pada tahap awal atau saat berumur 0-1 bulan tingkat menyusui di negara itu mencapai 84 persen.

Baca Juga

Berbicara kepada Anadolu Agency pada acara Hari dan Pekan Menyusui Sedunia yang dimulai pada Ahad (1/8), Elizabeth Kimani, kepala Unit Kesejahteraan Ibu dan Anak di Pusat Penelitian Kesehatan Penduduk Afrika (APHRC), mengatakan ada kemungkinan morbiditas yang lebih tinggi jika seorang anak tidak diberi ASI eksklusif selama enam bulan pertama kehidupannya.

“Ada juga risiko obesitas, karena pada penggantinya ditemukan bahan yang meningkatkan lemak. Ada juga masalah asma dan penyakit seperti eksim, jadi ASI adalah pelindung dari hal-hal seperti itu,” kata dia.

Di pedesaan Nyeri County di Kenya, sebagian besar keluarga tidak memberikan ASI eksklusif baik karena ketidaktahuan atau tantangan dalam hidup mereka seperti giliran kerja, kurangnya dukungan terutama untuk ibu yunior, dan masalah keuangan.

Nyawira Gakuhi, seorang ibu berusia 24 tahun yang membawa anaknya ke rumah sakit di Nyeri, mengatakan bahwa dia berhenti menyusui tiga bulan setelah melahirkan. Ibu lainnya, Lucy Njeri, 33 tahun, mengatakan bahwa dia menyusui anak sulungnya selama lima bulan, tetapi berhenti karena melelahkan.

Menurut APHRC ketidaktahuan dan kesalahpahaman adalah alasan utama ibu-ibu berhenti menyusui, terutama di perkotaan selain faktor sosial budaya. Dr Dorcas Lealo, seorang spesialis pediatri, mengatakan kepada Anadolu Agency bahwa kemiskinan yang ekstrem juga memaksa ibu berhenti menyusui.

“Sebagian besar orang di daerah kumuh dan pedesaan hidup dalam kemiskinan. Para ibu tidak memiliki makanan untuk dimakan yang bisa menghasilkan ASI.

"Saya melihat ibu-ibu harus melakukan pekerjaan kasar untuk mendapatkan kurang dari 2 dolar AS per hari. Mereka akan menghabiskan waktu sepanjang hari untuk mencuci pakaian, mengambil air, atau melakukan pekerjaan rumah,” kata dia.

Untuk mengatasi kondisi ini, pemerintah Kenya berinisiatif mempromosikan pemberian ASI eksklusif selama enam bulan. Para ahli mengatakan bahwa intervensi diperlukan untuk mendukung ibu miskin perkotaan di Kenya menyusui secara optimal.

Salah satunya adalah inisiatif rumah sakit ramah bayi yang diluncurkan pada 1991. Tujuan program ini meningkatkan 10 intervensi di fasilitas bersalin untuk mendukung keberhasilan menyusui. Inisiatif itu efektif mempromosikan pemberian ASI eksklusif selama minggu-minggu pertama, tetapi tidak bisa mempertahankannya hingga enam bulan.

Pada 2016, Kenya meluncurkan Program Perawatan Bersalin Gratis senilai 49,7 juta dolar AS. Pemerintah mengatakan layanan perawatan ibu gratis berusaha meningkatkan akses dan kualitas layanan perawatan kesehatan ibu, bayi baru lahir, dan anak menuju pencapaian Visi Kenya 2030 dan agenda Pembangunan Berkelanjutan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement