Sabtu 07 Aug 2021 04:01 WIB

Jangan Lupakan Layanan Spiritual untuk Penyintas Covid-19

Penyintas Covid-19 mempunyai risiko besar terkena gangguan mental.

Red: Joko Sadewo
Penyintas covid-19 berisiko alami gangguan mental.
Foto: republika
Penyintas covid-19 berisiko alami gangguan mental.

Oleh : Nashih Nashrullah, Jurnalis Republika.co.id

REPUBLIKA.CO.ID, Satu hal yang tampaknya luput dari pengamatan cerdik pandai dan tokoh agama adalah bimbingan agama bagi pasien Covid-19 dan para penyintas.  Penuturan dari sejumlah penyintas Covid-19 yang sempat mengalami gejala parah, adalah turunnya spiritualitas dan mental.

Di saat mereka berjuang melawan serangan Covid-19 yang mengganas dalam tubuh, di saat yang sama pula, mereka benar-benar dituntut untuk tetap yakin, dan optimis tentang kuasa dan rahmat Sang Pencipta, Allah SWT. Suasana yang tentu berat untuk dibayangkan. Mirisnya lagi, situasi sedemikan rupa bagi sebagian bahkan banyak orang, meninggalkan bekas yang akut. Tak sedikit yang terpaksa harus berhadapan dengan trauma yang berkepanjangan.

Hasil kajian Universitas Oxford Inggris yang diterbitkan Jurnal The Lancet Psychiatry, menemukan fakta bahwa satu dari lima penyintas Covid-19 mempunyai risiko besar terkena gangguan mental. Dalam riset tersebut terungkap sebanyak 20 persen orang yang pernah terinfeksi Covid-19 mengalami gangguan kejiwaan dalam waktu 90 hari. Gejala yang banyak muncul setelah mereka dinyatakan sembuh adalah kecemasan, depresi, dan insomnia.

Temuan yang kurang lebih juga menggarisbawahi permasalahan serupa. Bahwa pandemi Covid-19 sangat berpengaruh pada menurunnya spiritualitas masyarakat.   Survei  Puslitbang Bimas Agama Dan Layanan Keagamaan Badan Litbang Dan Diklat Kementerian Agama berjudul “Urgensi Layanan Agama di Masa Pandemi Covid-19” menyebutkan 55,1 persen respons setuju bahwa Covid-19 memengaruhi keyakinan/praktik keberagamaan.

Pandemi Covid-19 memang telah meluluhlantahkan sendi-sendi kehidupan, termasuk rutinitas mengakses kajian, ceramah, dan tausiyah keislaman secara langsung tatap muka dengan ustadz yang barangkali biasa dilakoni dalam kondisi normal. Apalagi bagi mereka yang terpapar parah Covid-19. Kendala akses tentu lebih sulit lagi.

Kabar baiknya, 86,7 persen responden berupaya terhubung dengan (mencari support dari) pemuka agama dan komunitas agama mereka. Saat isolasi mandiri, ragam aktivitas dilakukan. Sebanyak 56,3 persen mendengar atau membaca kitab suci, 47,2 persen mendengar ceramah, dan 42,8 persen dzikir/meditasi. Sedikit sekali yang konsultasi-psikologis khusus. Hanya 22,1 persen responden yang mengaku pernah mendapat konseling psikologis-keagamaan, selama menjalani pandemi ini.  Survei Kemenag ini juga menemukan fakta masih sedikit layanan konsultasi psiko-spiritual (psikologi keagamaan) yang tersedia. Padahal, sebagaimana disebutkan, 87 persen memang betul-betul berupaya terhubung dengan para pemuka agama masing-masing.

Tentu, dalam konteks umat Islam, ini menjadi tantangan tersendiri. Sejauh pengamatan penulis (bisa saja salah), belum ada lembaga atau siapapun yang mengambil peran ini secara spesifik, yaitu membuka konseling keagamaan untuk para pasien atau penyintas Covid-19, minimal secara virtual. Bahwa ada layanan konseling iya, tetapi masih sebatas pada persoalan medis dan pemantauan isolasi mandiri. Di sinilah tugas besar ormas-ormas Islam dan para tokoh-tokoh ulama.

Saya mengapresiasi langkah beragam komunitas dan Ormas Islam yang secara mandiri bahu membahu dalam penanggulangan Covid-19. Terutama dalam meringankan beban ekonomi bagi mereka yang terdampak. Namun, pada aspek ini, masih perlu upaya yang serius lagi, menghadirkan layanan spiritual secara gratis kepada para penyintas. Bagaimana caranya? Itu soal teknis. Gerakan Nasional (Gernas) Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk Penanggulangan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi, dalam waktu dekat misalnya, akan membuka layanan spiritual bagi pasien atau penyintas Covid-19.

Ini sejalan dengan rekomendasi yang disampaikan dalam survei Kemenag di atas. Survei memberikan rekomendasi perlu optimalisasi peran pemuka agama dan komunitas (ormas) keagamaan. Meski ada ragam pengalaman orang karena beragam karakteristik dan kondisinya, namun media layanan keagamaan virtual/online lebih pas dikembangkan di masa pandemi ini.

Survei juga merekemondasikan Kementerian Agama dalam hal ini Ditjen Bimas-bimas Agama memerintahkan kepada penyuluh-penyuluh agama di seluruh wilyah Indonesia mengintensifikan kegiatan penyuluhan agama terutama pesan menjaga keimanan/aspek teologis-spiritual menghadapi wabah dan menjaga diri dan keluarga di masa pandemic Covid-19 untuk tetap mematuhi protokol kesehatan 5 M. 

Model Layanan keagamaan psiko-spiritual di tengah krisis Pandemi Covid-19 ini perlu dikembangkan oleh Kementerian Agama dan jajarannya ke bawah. Juga, optimalisasi peran ormas keagamaan dan majelis agama untuk memberikan pelayanan keagamaan tersebut.

Gerak bersama menanggulangi Covid-19 mesti menitikberatkan multiaspek dan sektor. Aspek jasmani dan rohani. Dan semoga, ikhitar memberikan layanan spiritual ini, bagian dari membangkitkan optimisme dan ketenangan jiwa, sebagai bagian tak terlepaskan juga dari penanganan penyakit, seperti pernah disinggung Ibnu Sina dalam Qanun Ath-Thib dan Asy-Syifa ratusan tahun lalu:

الوهم نصف الداء والاطمئنان نصف الدواء والصبر بداية الشفاء

Al wahm nishf ad-dai wa al-ithmi’nanu nishf ad-dawa’wa ash-shabru bidayat as-syifa

“Delusi atau serba khawatir adalah separuh penyakit, ketenangan adalah separuh pengobatan, dan kesabaran adalah awal dari kesembuhan.” 

 

  

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement