Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Sutanto

True Story : Bunga Hatiku

Curhat | Monday, 16 Aug 2021, 16:29 WIB

Tyas adalah putri pertamaku, usianya baru 3,5 tahun. Dia sudah hafal lagu 25 Nabi dengan suara tidak fals. Pembawaannya yang lincah dan ceria semakin menambah rasa sayangku padanya.

Sore itu tidak seperti biasanya, dia lebih banyak diam. Istriku memegang keningnya. "Mas, badan Tyas panas. Kita bawa ke bidan ya. "

Aku bergegas menyiapkan kendaraan dan segera menuju rumah bidan yang berjarak kurang lebih 2 km. Tidak perlu menunggu lama, bu bidan memberikan obat penurun panas. Kami diminta kembali apabila besuk panasnya tidak turun.

Selama sehari semalam panasnya tak juga turun. Hari berikutnya Tyas kubawa periksa ke rumah sakit, sekaligus kami membawa pakaian ganti untuk persiapan opname. Pemeriksaan memakan waktu lebih dari dua jam, karena harus melalui tahap pendaftaran, periksa dokter, cek laboratorium. Dokter belum memperbolehkan putriku opname, sebab pihak rumah sakit belum menememukan indikasi penyakit.

Saat dirumah Tyas tidak mau makan setiap disuapi dia muntah. Kondisinya yang seperti itu membuat aku dan istriku menjadi gelisah, hampir semalaman tak bisa memejamkan mata.

Paginya kami kembali lagi ke rumah sakit minta opname. Melihat kondisi Tyas yang sulit makan dan masih panas badannya, akhirnya pihak rumah sakit mempersilakan opname dan mendapat tempat di bangsal khusus anak.

Setelah dilakukan cek darah, akhirnya Tyas dinyatakan terkena Dengue Shock Syndrome (DSS), semacam demam berdarah namun menyerang organ dalam.

Kami mulai khawatir mendapat informasi tersebut, sebab waktu itu sedang Kejadian Luar Biasa (KLB) demam berdarah. Kamipun berupaya menerima keadaan itu dengan tegar, meski kecemasan tetap menggelayuti.

Habis maghrib kami diberi informasi bahwa Tyas harus transfusi darah, dan kami harus mencari darah ke Yogyakarta. Persediaan kantong darah rumah sakit untuk golongan darah AB kosong. Aku berusaha menghubungi teman di PMI namun ternyata kosong juga.

Aku segera berangkat ke rumah sakit di Yogyakarta mencari kantong darah demi putriku tercinta. Hujan mengguyur jalanan cukup deras. Dinginnya malam dan derasnya air hujan tidak kupedulikan, sebab yang ada dalam hatiku adalah tekad untuk segera mendapatkan kantong darah.

Kurang lebih satu jam perjalanan sampailah aku ke rumah sakit yang ditunjuk, dan alhamdulillah kantong darah kudapatkan. Hujan yang makin deras tak kupedulikan lagi, aku harus segera kembali untuk kesembuhan putriku.

Transfusi darah segera dilakukan oleh tim medis sebagai upaya pertolongan untuk menggantikan rusaknya jaringan dalam.

Dokter memanggilku, ada rasa was was yang melanda hati. Dia menjelaskan bahwa transfusi yang dilakukan tidak bisa menggantikan darah yang ada dalam tubuh. "Kami dari tim medis sudah berupaya maksimal, kita hanya bisa menunggu keajaiban dari Yang Maha Kuasa pak, " kata Dokter lirih padaku.

Aku hanya menggaguk pelan tak mampu berkata-kata. Kamipun pasrah pada kehendak Pencipta semesta, dengan semakin mendekatkan diri melalui salat malam. Aku berdoa, “Ya Allah, kalau memang putriku masih engkau beri umur panjang, berilah kesembuhan. Namun kalau Engkau menghendaki dia kembali, kami sebagai insan lemah hanya bisa pasrah pada kuasa-Mu.”

Sesungguhnya berat kami menjalaninya. Istriku sedang mengandung anak kami yang kedua, kalau sampai tak bisa menjaga kesehatan, berbahaya bagi si janin. Sepanjang malam kami berdua membisikkan kalimat "laa illahailallah" di kedua telinganya. Meski tak kuasa berkata, putriku bisa merespon kami yang selalu mendampingi. Tak tega melihat sakit yang diderita, istriku membisikkan kata, "dik, ayah ibu ikhlas bila Allah menghendaki kau kembali."

Menjelang subuh, putriku dipanggil Allah Swt untuk selama-lamanya dalam usia yang masih belia. Hanya iman yang membuat kami berdua kuat menerima suratan takdir. Sebagai manusia kami hanya dapat berupaya, namun usia mutlak menjadi kuasa-Nya.

Selamat jalan putriku, kau senantiasa ada dihati kami sepanjang waktu. Tak ada lagi sakit yang kau rasakan, kau telah hidup dalam keabadian.

Doa kami mengiringmu, surga menantimu.

(memori, 22-02-1998)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image