Sabtu 28 Aug 2021 01:02 WIB

Muhammad Kece di Antara Medsos dan 'Mainstream'

Akun MuhammadKece sekitar setahun sudah mengunggah 450 video.

Red: Agus Yulianto
Muhammad Kece (Tangkapan Layar Youtube Muhamad KC)
Foto: Youtube
Muhammad Kece (Tangkapan Layar Youtube Muhamad KC)

REPUBLIKA.CO.ID, Kemajuan teknologi informasi di era revolusi industri 4.0 telah menimbulkan berbagai perubahan pesat. Termasuk, partisipasi aktif warganet dalam menyampaikan informasi atau berita. 

Data Internet world stats menunjukkan penetrasi internet Indonesia pada akhir Maret 2021 mencapai 76,8 persen atau 212,35 juta jiwa dengan estimasi total populasi sebanyak 276,3 juta jiwa. Dengan jumlah pengguna internet begitu besar, artinya terdapat potensi besar memanfaatkan kemajuan teknologi informasi baik untuk tujuan positif maupun negatif.

Bagi kelompok radikaldan teroris, potensi tersebut menjadi peluang bagi mereka untuk menjalankan kepentingannya dengan berbagai pola. Misalnya, jika dulu pengkaderan (rekruitmen) anggota radikaldan teroris melalui tatap muka, maka kini melalui media digital. 

Pola-pola lain yang berkembang di era digital ini, termasuk menggunakan dunia maya sebagai alat penyebaran intoleransi dan radikalisme. Pola berikutnya, menjadikan hoaks sebagai strategi menghasut dan meradikalisasi warganet melalui berbagai flatform media sosial.Pola pendanaan terorisme juga kini sebagian menggunakan kejahatan siber atau peretasan situs (hacking).

Bahkan, dengan kemajuan teknologi multimedia maka pola pembaiatan pun kini bisa secara online. Pola lain di era digital ini dengan menggunakan strategi media framingdalam mengemas pemberitaan untuk kepentingan kelompok radikal dan teroris.

Dewan Pers memperkirakan jumlah media massa di Indonesia mencapai 47.000 media dan media online mencapai 43.300 (Jurnal Dewan Pers, November 2018). Terlihat begitu besarnya potensi penyebaran informasi melalui dunia maya. 

Celakanya, dari 43.300 media siber itu baru sebagian kecil terferivikasi Dewan Pers. Bukan berarti yang belum terverifikasi itu adalah media penyebar hoaks, namun sulit untuk meminta pertanggungjawaban bagi media yang tidak jelas alamat dan pengelola karena belum terverifikasi.

Media abal-abal berpotensi dimanfaatkan untuk media framing serta penyebaran hoaks, intoleransi, radikalisme, ekstrimisme dan terorisme. Di sini terlihat pentingnya kehadiran media arus utama (mainstream) agar lebih berperan aktif dalam menangkal hoaks, intolerasi, radikalisme dan terorisme.

Ketua Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kaltara Datu Iskandar Zulkarnaen mengungkapkan itu yang menjadi dasar kegiatan sosialisasi "Peran Masyarakat dan Media dalam Mencegah Paham Ekstrimisme, Radikalisme, dan Terorisme" dengan menggandeng Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kaltara di Tanjung Selor, belum lama ini.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement