Selasa 31 Aug 2021 20:43 WIB

Beda Opini Empat Hakim MK: Status ASN Hak Hukum Pegawai KPK

Meski putusan MK menyatakan TWK tetap konstitusional, empat hakim berbeda pendapat.

Red: Andri Saubani
Salah satu dari massa aksi yang tergabung dalam serikat buruh dan masyarakat sipil melakukan aksi teatrikal di depan Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (28/6/2021). Aksi tersebut dilakukan sebagai bentuk protes dari upaya pelemahan KPK mulai dari revisi UU KPK hingga pemecatan 75 pegawai KPK yang tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).
Foto: ANTARA/Asprilla Dwi Adha
Salah satu dari massa aksi yang tergabung dalam serikat buruh dan masyarakat sipil melakukan aksi teatrikal di depan Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (28/6/2021). Aksi tersebut dilakukan sebagai bentuk protes dari upaya pelemahan KPK mulai dari revisi UU KPK hingga pemecatan 75 pegawai KPK yang tidak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Rizkyan Adiyudha

Empat orang hakim Mahkamah Konstitusi memberikan alasan berbeda (concurring opinion) dalam putusan uji materi mengenai proses alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN). Dalam putusan Nomor 34/PUU-XIX/2021, hakim konstitusi memutuskan untuk menolak seluruhnya permohonan yang diajukan Muh Yusuf Sahide selaku Direktur Eksekutif KPK Watch Indonesia.

Baca Juga

Namun, empat orang hakim, yakni Wahiduddin Adams, Suhartoyo, Saldi Isra, dan Enny Nurbaningsih memiliki alasan berbeda.

"Bagi pegawai KPK menjadi pegawai ASN bukan atas keinginan sendiri, melainkan merupakan perintah undang-undang, in casu UU 19/2019. Lebih tegas lagi, berdasarkan UU 19/2019 peralihan status menjadi pegawai ASN merupakan hak hukum bagi penyelidik, penyidik, dan pegawai KPK," demikian disebutkan hakim MK dalam putusan yang dibacakan pada Selasa (31/8).

Alih status sebagai ASN adalah hak pegawai KPK sesuai dengan maksud Undang-Undang No 19/2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Sehingga, dalam pengalihan tersebut tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi pegawai ASN dengan alasan apa pun di luar desain yang telah ditentukan tersebut.

"Sebab para pegawai KPK selama ini telah mengabdi di KPK dan dedikasinya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi tidak diragukan," tambah hakim MK.

Menurut keempat hakim konstitusi dan sesuai dengan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2019, "status peralihan" bagi penyelidik atau penyidik KPK dan bagi pegawai KPK bukanlah proses seleksi calon pegawai baru atau seleksi ASN baru. Di mana dalam setiap proses seleksi baru dapat dilakukan berbagai bentuk seleksi sehingga sebagiannya dapat dinyatakan "memenuhi syarat" dan sebagian lagi dapat dinyatakan "tidak memenuhi syarat" agar tetap memberikan kepastian hukum bagi penyelidik, penyidik, dan pegawai KPK.

"Secara hukum, apabila diletakkan dalam konstruksi Pasal 69B dan Pasal 69C UU No. 19/2019, peralihan tersebut harus ditunaikan terlebih dahulu. Setelah penyelidik, penyidik, dan pegawai KPK mendapat status pegawai ASN, institusi KPK dapat melakukan berbagai bentuk tes untuk menempatkan mereka dalam struktur organisasi KPK sesuai dengan desain baru KPK," ungkap hakim MK.

Artinya, seluruh pegawai KPK, menurut empat orang hakim MK, berhak untuk beralih status sebagai ASN. Setelah berstatus ASN, dapat dilakukan tes untuk menentukan penempatan di KPK.

"Karena peralihan status tersebut sebagai hak, peralihan dilaksanakan terlebih dahulu dan setelah dipenuhi hak tersebut baru dapat diikuti dengan penyelesaian masalah-masalah lain, termasuk kemungkinan melakukan promosi dan demosi sebagai pegawai ASN di KPK," kata hakim MK.

Dalam konteks tersebut, menurut empat hakim MK tersebut, sekalipun permohonan uji materi ditolak, pertimbangan hukumnya dapat dijadikan momentum untuk menegaskan pendirian MK. Bahwa, ihwal peralihan status penyelidik, penyidik, dan pegawai KPK secara hukum menjadi pegawai ASN sebagai hak yang harus dipenuhi sebagaimana semangat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2019.

Dalam permohonannya, Yusuf Sahide meminta agar MK menyatakan dua pasal di UU 19/2019 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Kedua pasal tersebut adalah Pasal 69B Ayat (1) yang menyebutkan bahwa, pada saat UU ini mulai berlaku, penyelidik atau penyidik KPK yang belum berstatus sebagai pegawai aparatur sipil negara dalam jangka waktu paling lama 2 tahun sejak UU ini berlaku dapat diangkat sebagai pegawai aparatur sipil negara sepanjang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.

Disebutkan dalam Pasal 69C bahwa pada saat UU ini mulai berlaku, pegawai KPK yang belum berstatus sebagai pegawai aparatur sipil negara dalam jangka waktu paling lama 2 tahun terhitung sejak UU ini mulai berlaku dapat diangkat menjadi pegawai aparatur sipil negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Yusuf Sahide berharap agar majelis MK mengubah kedua pasal tersebut menjadi "Pada saat UU ini mulai berlaku, Pegawai KPK yang belum berstatus sebagai pegawai aparatur sipil negara dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak UU ini mulai berlaku diangkat menjadi pegawai aparatur sipil negara sepanjang memenuhi ketentuan 1. Bersedia menjadi pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN), dan 2. Belum memasuki batas usia pensiun sesuai ketentuan perundang-undangan".

Alasan pemohon adalah karena frasa "dapat diangkat sebagai pegawai aparatur sipil negara sepanjang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan" dalam pasal 69B dan 69C dimanfaatkan secara salah. Karena, menurut pemohon, menggunakan TWK sebagai seleksi dan bagi pegawai yang tidak lolos TWK akan mengakibatkan pemberhentian pegawai KPK sehingga menimbulkan kerugian konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Ayat (3), Pasal 27 Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1), Pasal 28D Ayat (2), dan Pasal 28D Ayat (3) UUD NRITahun 1945.

Namun, hakim MK menolak dalil-dalil yang diajukan pemohon dan menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil dalam pelaksanaan proses alih status pegawai KPK sebagai ASN melalui TWK.

"Mengadili, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan putusan di gedung MK Jakarta, Selasa.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement