Kamis 02 Sep 2021 17:20 WIB

Cendekiawan dan Pengacara Bersatu Kaji ‘Genosida’ Uighur

Dugaan genosida etnis Uighur mengemuka seiring tekanan Amerika Serikat

Rep: Meiliza Laveda/ Red: Nashih Nashrullah
Dugaan genosida etnis Uighur mengemuka seiring tekanan Amerika Serikat. Ilustrasi patroli palisi Uighur
Foto: REUTERS/Thomas Peter
Dugaan genosida etnis Uighur mengemuka seiring tekanan Amerika Serikat. Ilustrasi patroli palisi Uighur

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON – Cendekiawan dan pengacara terkemuka bergabung dengan politisi dan kelompok hak asasi manusia di Inggris pada Rabu menggelar konferensi skala besar pertama yang membahas dugaan genosida pemerintah China terhadap kelompok etnis Uighur di wilayah Xinjiang barat laut.

Konferensi tiga hari yang dilakukan di Universitas Newcastle merupakan konferensi pertama yang mengumpulkan banyak ahli Xinjiang dan genosida. 

Baca Juga

Ini adalah langkah terbaru yang bertujuan untuk meminta pertanggungjawaban China atas dugaan pelanggaran hak terhadap Uighur dan kelompok minoritas Muslim lainnya.

Pembicara akan membahas bukti dugaan kekejaman yang menargetkan Uyghur, termasuk kerja paksa, pengendalian kelahiran paksa, dan penindasan agama. Selain itu, mereka juga membahas beragam cara untuk memaksa tindakan internasional menghentikan dugaan tersebut.

“Kami tidak ingin ini hanya menjadi urusan ilmiah. Kami mengumpulkan semua orang untuk menggabungkan keahlian dan pengaruh mereka untuk meningkatkan tekanan pada China dan mengakhiri ini pada orang-orang Uighur,” kata akademisi spesialisasi studi Uighur, Jo Smith Finley.

Para peneliti mengatakan sekitar satu juta orang atau lebih orang Uighur telah dikurung di kamp-kamp pendidikan ulang yang luas di Xinjiang dalam beberapa tahun terakhir. Pihak berwenang China telah dituduh memaksakan kerja paksa, pengendalian kelahiran paksa secara sistematis dan penyiksaan, menghapus identitas budaya dan agama Uighur, serta memisahkan anak-anak dari orang tua yang dipenjara.

Namun, pejabat China menyangkal semua tuduhan tersebut. Juru Bicara Xinjiang, Xu Guixiang, membantah tuduhan itu pada konferensi pers di Beijing pekan ini. Dia mengatakan kebijakan pemerintah telah mengekang serangan militan dan memulihkan stabilitas di kawasan itu.

“Mereka mengatakan lebih dari satu juta orang telah dikurung di Xinjiang tapi pada kenyataannya sebagian besar lulusan pusat pelatihan dan pendidikan mendapatkan pekerjaan yang stabil dan menjalani kehidupan yang bahagia,” kata Xu.

Dilansir Daily Sabah, Kamis (2/9), pemerintah Amerika Serikat dan parlemen di Inggris, Belgia, Belanda, dan Kanada telah menyatakan kebijakan China terhadap Uighur sama seperti genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. 

Amerika Serikat telah memblokir impor kapas dan tomat dari Xinjiang dan perusahaan yang terkait dengan kerja paksa di wilayah tersebut. Sementara Uni Eropa dan Inggris juga telah memberlakukan sanksi terhadap pejabat Partai Komunis.

Terlepas dari langkah-langkah seperti itu dan semakin banyak bukti yang mendokumentasikan pelanggaran, para kritikus mengatakan belum cukup tindakan politik atau hukum internasional. Tidak jelas apakah sanksi ekonomi akan memaksa China untuk mengubah cara mereka.

China juga membalas dengan menjatuhkan sanksi pada individu dan institusi Barat dan menyerukan boikot terhadap pengecer terkemuka seperti Nike dan H&M setelah mereka menyatakan keprihatinan tentang kerja paksa di Xinjiang. 

Penyelenggara konferensi, Finley adalah salah satu dari beberapa orang Inggris yang terkena sanksi China dan dilarang mengunjungi China awal tahun ini karena pekerjaannya.

Salah satu tujuan utama konferensi ini adalah untuk mempertimbangkan apakah tindakan diplomatik seperti boikot diplomatik Olimpiade Musim Dingin 2022 di Beijing dapat efektif dalam mengejar akuntabilitas China. Konferensi berlangsung hingga Jumat dan akan disiarkan langsung secara online.  

 

 

Sumber: dailysabah    

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement