Sabtu 11 Sep 2021 00:05 WIB

Singapura Tetap Mencoba Hidup Bersama dengan Covid-19

Singapura sedang menghadapi peningkatan kasus Covid-19.

Red: Teguh Firmansyah
Virus corona (ilustrasi)
Foto: Pixabay
Virus corona (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, SINGAPURA  -- Pemerintah Singapura sedang mencoba untuk hidup dengan Covid-19 dan melihat tidak perlu memperketat pembatasan untuk mengatasi lonjakan kasus. Namun Singapura tetap menunda lebih banyak langkah pembukaan sambil memantau peningkatan kasus.

Infeksi harian baru Singapura telah meningkat tajam baru-baru ini dan mencapai 450 kasus pada Kamis (9/9), setelah langkah-langkah penahanan dilonggarkan sebagai bagian dari pembukaan kembali bertahap setelah vaksinasi 80 persen dari populasinya.

Baca Juga

"Peningkatan infeksi harian yang cepat dan eksponensial yang kita alami sekarang ini adalah apa yang harus dilalui oleh setiap negara yang ingin hidup dengan Covid-19 di beberapa titik," kata Menteri Kesehatan Singapura Ong Ye Kung dalam konferensi pers pada Jumat.

Untuk mendukung sistem perawatan kesehatan, Singapura akan membiarkan lebih banyak pasien yang divaksin pulih di rumah dan akan memulai program suntikan penguat (booster) vaksin untuk kelompok rentan.

Pihak berwenang juga telah memutuskan untuk mengurangi karantina dari 14 hari menjadi 10 hari untuk kontak dekat dengan orang yang terinfeksi. "Indikator utama dalam menentukan langkah pembukaan kembali adalah jumlah pasien di unit perawatan intensif (ICU) selama 2-4 minggu ke depan," kata Lawrence Wong, menteri keuangan dan ketua bersama gugus tugas virus Corona.

Saat ini ada tujuh ICU dan 300 tempat tidur yang tersedia, yang dapat ditingkatkan menjadi 1.000 tempat tidur.  "Jumlah ICU kami masih rendah sekarang ... tetapi kami tidak boleh berpuas diri," kata Wong.

"Penyakit parah biasanya datang dua minggu atau lebih setelah seseorang tertular virus," kata Wong, kemudian menambahkan mungkin "sembrono" untuk membuka kembali sekarang.

Singapura juga mencatat lebih banyak anak terinfeksi, tetapi tidak ada yang sakit parah, menurut Kenneth Mak, direktur layanan medis.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement