Senin 13 Sep 2021 21:54 WIB

Sri Mulyani: Anggaran Daerah Habis Untuk Belanja Pegawai

Hal itu menjadi indikasi pengelolaan keuangan daerah belum optimal.

Rep: Novita Intan/ Red: Fuji Pratiwi
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan penjelasan pemerintah dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (13/9). Raker itu membahas Rancangan Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (RUU HKPD).
Foto: ANTARA/Akbar Nugroho Gumay
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan penjelasan pemerintah dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (13/9). Raker itu membahas Rancangan Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (RUU HKPD).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah menyebut lebih dari setengah anggaran daerah habis digunakan belanja birokrasi. Hal ini menyebabkan belum optimalnya tata kelola keuangan di daerah.

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, sejak tiga tahun terakhir, belanja birokrasi mencapai 59 persen dari total anggaran daerah termasuk belanja pegawai. "Pengelolaan keuangan daerah yang belum optimal dengan indikasi besarnya belanja birokrasi seperti belanja pegawai dan barang jasa yang rata-rata mencapai 59 persen dari total anggaran daerah dalam tiga tahun terakhir," ujar Sri saat rapat bersama Komisi XI DPR secara virtual, Senin (13/9).

Baca Juga

Menurut Sri, mayoritas dana transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) digunakan belanja pegawai. Padahal anggaran ini bisa dioptimalkan untuk melakukan pembangunan di daerah.

Meskipun 70 persen atau hampir 70 persen dari APBD berasal dari TKDD. Ini berarti transfer yang diberikan ke daerah dan merupakan mayoritas atau sumber utama dari daerah belum bisa mendorong pembangunan daerah.

"Sebagian besar dari TKDD dana alokasi umum (DAU) memiliki korelasi  yang cenderung positif terhadap belanja pegawai," ungkap Sri.

Sri menjelaskan, kemampuan daerah dalam mendapatkan pendapatan asli daerah (PAD) sangat minim dalam tiga tahun terakhir. Hal itu tecermin dari porsi PAD dalam APBD hanya sekitar 24,7 persen, sedangkan hampir 70 persen berasal dari TKDD. Hal ini tidak searah dengan esensi DAU yakni sebagai alat dalam memberikan pelayanan dasar bagi masyarakat, mengurangi ketimpangan, dan mendukung kecukupan pendanaan untuk pelaksanaan urusan yang diserahkan ke daerah oleh pemerintah pusat.

"Pemda menggunakan DAK sebagai sumber utama belanja produktif. Padahal esensi DAK sebagai pelengkap, penunjang dari yang disebut dana keseluruhan TKDD atau APBD daerah tersebut," ucap Sri.

Sedangkan belanja modal, kata dia, mayoritas daerah mengandalkan dana alokasi khusus (DAK). Padahal porsi DAK jauh lebih kecil.

"Makin besar DAU justru habis digunakan pegawai. Korelasi positif interpretasinya seperti itu," ujar Sri.

Sedangkan DAK yang secara nominal nilainya lebih kecil dari DAU memiliki korelasi pada belanja modal. Artinya belanja modal di daerah sangat tergantung pada transfer pusat, bukan dari DAU.

Tak hanya itu, pengelolaan keuangan daerah juga belum efektif dan efisien. Hal itu tercermin dari belanja yang belum fokus akibat banyaknya jenis program yang mencapai 29.623 dan 263.135 kegiatan.

"Ini yang disebut ecer-ecer. Pokoknya kecil-kecil semuanya dapat, tanpa memikirkan pengeluaran itu bisa menghasilkan output dan outcome," kata Sri.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement