Rabu 15 Sep 2021 15:47 WIB

KPPPA Dorong Jerat Pelaku Pemerkosaan dengan UU Anak

Kasus pemerkosaan empat siswi SMA terjadi di Jayapura, Papua.

Red: Ratna Puspita
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mendorong agar kepolisian menggunakan Undang-Undang Perlindungan Anak untuk menjerat terduga pelaku pada kasus pemerkosaan empat siswi SMA di Jayapura, Papua. (Ilustrasi Kekerasan Seksual)
Foto: Foto : MgRol112
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mendorong agar kepolisian menggunakan Undang-Undang Perlindungan Anak untuk menjerat terduga pelaku pada kasus pemerkosaan empat siswi SMA di Jayapura, Papua. (Ilustrasi Kekerasan Seksual)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mendorong agar kepolisian menggunakan Undang-Undang Perlindungan Anak untuk menjerat terduga pelaku pada kasus pemerkosaan empat siswi SMA di Jayapura, Papua. Hal itu penting karena perkembangan kasus mengarah pada penyelesaian secara kekeluargaan.

"Tidak boleh ada toleransi sedikitpun pada pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Pihak kepolisian kami harapkan dapat mendalami kembali kasus ini demi kepentingan terbaik bagi anak," kata Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak KPPPA Nahar melalui siaran pers, Jakarta, Rabu (15/9).

Baca Juga

Menurut dia, pelaku dapat dijerat dengan Pasal 81 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, yakni pelaku dipidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar. Nahar juga menegaskan bahwa Kemen PPPA terus berkoordinasi dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Provinsi Papua untuk memantau perkembangan keempat korban.

UPTD PPA Provinsi Papua juga akan melakukan asesmen terhadap korban bekerja sama dengan Yayasan Pendampingan Pemberdayaan Masyarakat Papua (YP2MP). Selanjutnya UPTD PPA dan Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) juga akan melakukan pendampingan ke sekolah korban agar para korban dapat kembali sekolah tanpa merasa tertekan dan malu atas kejadian yang menimpanya.

"Kami akan terus memantau dan memastikan pendampingan diberikan secara tuntas hingga kasus ini selesai. Kerja sama dari semua pihak juga sangat diperlukan, termasuk media massa dalam memberitakan kasus ini. Jangan sampai pemberitaan yang berkembang malah semakin mengganggu kondisi psikologis korban," tutur Nahar.

Kasus ini berawal dari laporan salah satu kakak korban kepada LBH Papua dan LBH APIK bahwa telah terjadi kekerasan seksual terhadap empat siswi. Empat siswi itu awalnya diajak seseorang berjalan-jalan ke Jakarta tanpa diketahui keluarga para siswi.

Para korban diduga diculik, dianiaya, dipaksa minum alkohol sampai tidak sadarkan diri, kemudian mengalami kekerasan seksual dari oknum tersebut. Mereka disebut dilarang memberitahukan perbuatan bejat itu kepada siapa pun termasuk keluarga.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement