Jumat 17 Sep 2021 21:59 WIB

PLTS Atap, Tren atau Kebutuhan?

Penggunaan PLTS atap sangat membantu perusahaan dalam melakukan efisiensi.

Red: Friska Yolandha
Petugas merawat panel surya yang terpasang di atap Gedung Direktorat Jenderal (Dirjen) Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (EDSM), Jakarta, Rabu (24/3). penggunaan PLTS atap sangat membantu perusahaan dalam melakukan efisiensi.
Foto: ANTARA/Aditya Pradana Putra
Petugas merawat panel surya yang terpasang di atap Gedung Direktorat Jenderal (Dirjen) Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (EDSM), Jakarta, Rabu (24/3). penggunaan PLTS atap sangat membantu perusahaan dalam melakukan efisiensi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kalau menilik atap bangunan-bangunan di Jakarta saat ini, sebagian besar telah terpasang panel surya yang bertugas untuk memanen sinar matahari sebagai pembangkit listrik. Benar sekali! Di tengah pandemi saat ini, banyak dari gedung bertingkat yang memanfaatkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap untuk menghemat pemakaian listrik PLN.

Hadirnya PLTS di atap bangunan mampu mereduksi tarif listrik sampai dengan 50 persen. Ini yang lantas membuat banyak pengelola gedung memanfaatkan teknologi ini agar bisa berhemat.

Tak hanya itu, Pemprov DKI Jakarta tengah menjajaki untuk memberikan insentif kepada pemilik gedung yang menyematkan teknologi ramah lingkungan. Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan penggunaan PLTS atap dalam satu tahun terakhir melonjak tajam dari 351 menjadi 4.028 pengguna hingga Juli 2021 atau tumbuh 10 kali lipat lebih. Angka ini kemungkinan akan terus bertambah seiring terbitnya Permenko Kemaritiman dan Investasi Nomor 7 Tahun 2021 yang menyebut pengembangan PLTS atap menjadi salah satu program strategis nasional dalam mencapai bauran energi 23 persen pada 2025.

Dengan semakin berkembangnya PLTS atap, Kementerian ESDM sebagai regulator berupaya untuk semakin memberikan perlindungan bagi konsumen melalui Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2021 yang menetapkan standarisasi produk modul fotovoltaik silikon kristalin berupa kewajiban SNI untuk produk yang beredar di Indonesia.

Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan, Chrisnawan Anditya via laman resmi Kementerian ESDM, menegaskan produk dengan modul fotovoltaik silikon kristalin wajib membubuhkan tanda SNI. Praktik seperti ini merupakan praktik umum yang lazim diterapkan dunia internasional merujuk pada International Electrotechnical Commission (IEC). Penerapan SNI bertujuan agar masyarakat tidak dirugikan dalam memasang PLTSdi rumahnya.

Tentunya yang menjadi pertanyaan sekarang, banyaknya gedung-gedung di Jakarta yang memasang panel surya apakah sekedar ikut-ikutan tren ataukah untuk tujuan penghematan energi di tengah pandemi?

Sambut positif

Kebijakan yang mewajibkan seluruh produk PLTS sudah berlogo SNI mendapat sambutan positif tidak saja dari masyarakat dan pelaku usaha tetapi juga dari kalangan produsen PLTS atap. Salah satu alasan produsen mendukung penerapan SNI terhadap produk PLTS adalah pengguna lebih yakin untuk menggunakan teknologi ini.

Pengguna tentunya memastikan produk yang digunakan bakal awet dan bukan produk yang abal-abal. Seperti diutarakan Managing Director PT Utomo Juragan Atap Surya Indonesia, Anthony Utomo yang menyebut penempelan SNI dalam produk PLTS akan membuat pengguna yakin barang yang dibelinya memiliki kinerja yang baik serta untuk membedakan dengan barang yang tidak standar.

Ke depan semua produk PLTS harus sudah mendapatkan Sertifikat Produk Penggunaan Tanda SNI (SPPT SNI) di Indonesia. Anthony melihat prospek PLTSinisangatlah cerah serta dapat dimanfaatkan pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) untuk menghemat biaya operasi.

Direktur PT Frina Lestari Nusantara, Fransisca Harlijanto, mengaku penggunaan PLTS atap sangat membantu perusahaan dalam melakukan efisiensi. Perusahaan ini sudah memasang PLTS atap berkapasitas 518,4 kWp.

Peran gas

Pemerintah dalam upaya memenuhi target bauran energi 23 persen pada 2025 terus mendorong harga teknologi pembangkit listrik surya, angin, dan air dapat ditekan agar kian terjangkau masyarakat dan pelaku usaha. Persoalan tidak semua energi terbarukan berbiaya murah. Sebagai contoh untuk PLTS atap, sampai saat ini komponen yang paling mahal adalah penggunaan baterai yang akan difungsikan saat cahaya tak mencukupi atau saat malam hari.

Di sini perlu inovasi yang memungkinkan PLTS atap bisa lebih terjangkau sehingga target bauran energi bisa tercapai. Pemerintah sendiri telah mendorong pemanfaatan gas bumi sebagai sumber energi strategis yang dinilai memiliki biaya lebih murah sebagai pendamping PLTS atap. Bahkan bisa disebut gas bumi memiliki peran sentral dalam proses transisi energi dari energi fosil menuju energi baru dan terbarukan yang dinilai lebih ramah lingkungan termasuk dalam penerapan PLTS atap.

Komisaris Utama PGN, Arcandra Tahar mengatakan gas bumi sejauh ini memiliki peran strategis di tengah upaya pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap. PLTS sejauh ini membutuhkan biaya yang cukup mahal jika berdiri sendiri, dalam operasinya.Hal itu karena PLTS atap masih akan membutuhkan bantuan baterai atau sumber energi lain.

Fungsi gas atau baterai disini adalah sebagai energi primer yang akan menyokong penerapan PLTS atap ketiga energi dari matahari "drop". Dengan harga gas yang lebih kompetitif, lanjut Arcandra, kombinasi gas bumi dan PLTS akan lebih efisien daripada penggunaan baterai.

Secara komersial mestinya penggunaan gas bumi dalam pengembangan PLTS akan lebih kompetitif daripada penggunaan baterai. PGN dapat membangun sinergi dengan PLN untuk menjalankan strategi ini, jelas Arcandra.

Kebijakan sejumlah negara untuk beralih ke energi baru terbarukan harus dicermati dengan baik, terutama berkaitan dengan upaya pemenuhan nol emisi karbon (zero carbon)  pada 2050 oleh sejumlah negara maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara Uni Eropa. AS bersama Uni Eropa, Jepang dan Korea sudah memiliki komitmen untuk mencapai itu pada 2050 atau sekitar 29 tahun lagi.

Sebagai usaha mewujudkan komitmen itu, Uni Eropa dan beberapa negara tersebut sudah mulai fokus pada pengembangan energi terbarukan. Karena itu, penting diperhatikan adalah mempersiapkan masa transisi menuju energi terbarukan.Periode 29-30 tahun ke depan adalah kunci. Jika perusahaan migas mengurangi eksplorasi dan produksinya, tentu ini akan menjadi tantangan baru. Karena menggantikan energi fosil dengan energi terbarukan tidaklah semudah yang dibayangkan.

Proyeksi OPEC, sampai 2040, kebutuhan minyak dunia akan bertambah sekitar 20 juta barel per hari dari kebutuhan 2020 sebanyak 90 juta barel per hari. Sementara kehadiran kendaraan listrik diproyeksikan hanya akan mengkonversi penggunaan bahan bakar minyak (BBM) sekitar enam juta barel per hari di seluruh dunia pada 2040.

Sebagai energi bersih yang ramah lingkungan, harga kompetitif dan sumbernya masih sangat besar, gas bumi seharusnya menjadi bagian penting dalam proses transisi energi di Indonesia.Dengan demikian, kombinasi PLTSatap dengan gas bumi bisa menjadi pilihan agar biaya yang ditanggung masyarakat dan pelaku usaha tidak terlalu mahal. Itu juga sekaligus mempersiapkan Indonesia ke arah energi dengan nol emisi pada 2050.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement