Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image RISNAWATI RIDWAN

Menentukan Batas Standar Pelecehan Seksual di Dunia Kerja

Eduaksi | Friday, 17 Sep 2021, 21:40 WIB

Pelecehan seksual merupakan pelanggaran berat, apalagi di tempat kerja, sehingga sebuah organisasi atau perusahaan harus menetapkan aturan yang jelas dan sanksi yang tegas dalam menghadapi kasus pelecehan seksual. Pelecehan seksual dan perundungan adalah dua peristiwa yang seringkali saling terkait yang menimpa seseorang yang menjadi korbannya.

Pelecehan seksual yang dialami oleh salah satu pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang telah terjadi dalam hitungan tahun tentunya harus menjadi pembelajaran bahwa dalam organisasi pemerintah pun, kejahatan ini dapat terjadi dan terpendam tanpa ada solusi dan penanganan terhadap korban. Apalagi tindakan dan sanksi tidak diberikan kepada pelaku. Kejahatan ini terungkap setelah menjadi viral di sosial media.

Sexual harassment atau pelecehan seksual adalah segala macam bentuk tindakan baik verbal atau fisik yang mengacu pada makna seksual yang dilakukan baik secara eksplisit maupun implisit serta berpengaruh terhadap status karyawan atau work performance seseorang.

Namun, seperti banyak kasus pelecehan seksual yang pernah terjadi, penyebab semakin banyaknya terjadi pelecehan seksual adalah kurangnya pemahaman pentingnya pendidikan seksual. Seperti diketahui, bahwa masyarakat kita masih tabu untuk membicarakan informasi seksual sekalipun bertujuan sebagai bahan pengetahuan.

Dalam kehidupan sosial masyarakat kita, pemahaman pelecehan seksual bukanlah sebuah kejahatan “serius” dimana korban tidak luka secara fisik. Bahkan seringkali korban yang disalahkan. Demikian juga dalam dunia kerja. Dimana orang yang bekerja merupakan orang-orang yang telah mencapai usia dewasa yang seharusnya telah paham batas-batas perilaku yang mengancam, menyakit, mengintimidasi bahkan menyentuh secara fisik.

Pengelaman saya beberapa tahun lalu, saat saya bekerja bersama expatriat yang bergerak di bidang child protection, salah seorang rekan “meminta tolong” anak binaannya untuk memijat punggung dan kepalanya karena kelelahan. Dalam pandangan kita sebagai orang Indonesia, memijat adalah aktivitas biasa saja tanpa tanda-tanda negatif. Lain halnya dengan sang expartriat tersebut. Dengan suara keras dan spontan memarahi rekan kami karena telah melakukan pelecehan seksual terhadap si anak. Menurutnya, meminta anak atau orang lain untuk menyentuh tubuh kita atau orang lain lagi merupakan salah satu bentuk pelecehan seksual. Bahwa jika si anak tidak menunjukkan keberatan bukan berarti si anak setuju melakukan hal seperti menyentuh fisik orang lain. Dan hal tersebut termasuk dalam pelecehan seksual.

Peristiwa tersebut mengajarkan kepada kami, bahwa pemahaman tentang batas-batas perilaku yang mengarah kepada kejahatan seksual berbeda antara masyarakat kita dengan expartriat. Apalagi saat itu kami berkecimpung dalam aktivitas child protection dimana seharusnya perilaku-perilaku negatif harus dihindari jika berhadapan dengan anak-anak.

Pelecehan seksual rentan terjadinya dalam dunia kerja. Dan yang sering menjadi korban adalah wanita, walaupun laki-laki tidak menutup kemungkinan menjadi korban, seperti korban pelecehan seksual pegawai KPI. Dunia kerja yang mempunyai tekanan pekerjaan lebih berat, aktivitas tinggi, deadline dan tanggung jawab besar mempunyai peluang yang lebih dalam menciptakan situasi yang dapat mengakibatkan terjadinya pelecehan seksual.

Sudah menjadi kebiasaan bahwa bekerja di bawah tekanan tinggi, maka kita akan mencari alternatif aktivitas untuk menurunkan kadar stres yang tercipta selama bekerja. Alternatif aktivitas ini dapat berupa senda gurau dan canda dalam berkomunikasi dengan teman sejawat. Disinilah juga terjadinya peluang terjadinya pelecehan seksual. Obrolan bahan pembicaraan tentang seksual adalah topik yang selalu menghasilkan tawa.

Sejak bekerja dalam organisasi pemerintahan, saya sering mendengar pembicaraan tentang seksual atau lebih detil tentang hubungan suami istri dalam obrolan santai yang merupakan bahan utama pembicaraan. Pada awalnya saya sangat merasa tidak nyaman jika ada pembicaraan tentang hal tersebut, tapi sampai sekarang hal tersebut memang menjadi semacam kebiasaan untuk menurunkan tekanan dan situasi pekerjaan yang tegang.

Pembicaraan yang berkonotasi negatif ini biasanya dilakukan oleh para pria dan yang menjadi korbannya adalah para wanita. Jika ditanya secara serius alasan mengapa harus membahas soal seksual, mereka akan mengatakan bahwa hanya sebatas candaan dan tidak bermaksud untuk melecehkan teman-teman mereka.

Batas-batas bahasan ini tidak dapat ditemukan dalam dunia kerja kita. Sehingga jika seseorang merasakan bahwa omongan, perilaku seseorang yang menunjukkan sebagai pelecehan seksual dan melakukan speak up bahwa hal tersebut sudah melanggar hukum, maka orang tersebut dianggap berlebihan.

Sudah sepantasnya, sebuah organisasi atau perusahaan menentukan batas-batas perilaku dari pegawainya untuk menghindari munculnya pelecehan seksual. Karena sekarang bukan zamannya lagi bahwa perilaku seperti catcalling atau candaan yang menggunakan istilah seksual adalah hal biasa. Merubah kebiasaan ini menjadi tugas kita bersama untuk mencegah pelecehan seksual terjadi di sekitar lingkungan kita.

Cara lain dalam menentukan batasan perilaku ini adalah membuat peraturan secara tertulis yang menjelaskan secara teknis batasan-batasan tersebut. Peraturan ini tentunya dapat diregulasikan dalam tingkat pemerintahan atau hanya dalam lingkup internal organisasi. Tujuannya adalah agar korban pelecehan seksual mendapatkan keadilan dan pelaku mendapat efek jera dari apa yang dilakukannya. Peraturan ini hanya sebagai bantuan sementara karena harapan akhirnya adalah kita paham batas-batas perilaku sehingga dapat mencegah terjadinya pelecehan seksual di dunia kerja. (RbR).

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image