Ahad 19 Sep 2021 18:49 WIB

Petani Tebu: Mustahil Indonesia Swasembada Gula 2025

Kebijakan sektor gula dinilai saling mendistorsi.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Fuji Pratiwi
Panen tebu di Godean, Yogyakarta (ilustrasi). Petani menilai mustahil Indonesia swasembada gula pada 2025.
Foto: Republika/ Wihdan
Panen tebu di Godean, Yogyakarta (ilustrasi). Petani menilai mustahil Indonesia swasembada gula pada 2025.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) menilai, target pemerintah untuk swasembada gula pada 2025 mustahil tercapai. Sebab, kebijakan di sektor gula saat ini tidak mendukung petani agar bersemangat meningkatkan produksi.

Sekretaris Jenderal APTRI, Nur Khabsyin, mengatakan, Kementerian Pertanian tengah menggalakkan peningkatan produktivitas tebu lewat sejumlah kebijakan. Namun, kebijakan yang fokus pada sisi hulu itu akan kurang bermanfaat ketika harga produk di hilir sangat murah dan tidak sesuai dengan besarnya biaya produksi gula tebu.

Baca Juga

"Ada upaya peremajaan tapi ketika sudah dipanen harga tebu murah, itu artinya mendistorsi kebijakan karena tidak ada harmonisasi," kata Khabsyin.

Ia menyebut, harga gula saat ini sedang turun ke level Rp 10.400-Rp 10.500 per kg. Produksi gula tahun ini juga diperkirakan turun karena masih adanya tunggakan pembayaran gula petani oleh perusahaan tahun lalu sehingga mengakibatkan petani enggan untuk menambah luasan dan mengganti komoditas.

Adapun, usulan petani gula untuk menaikkan harga di dalam negeri belum disetujui oleh pemerintah. Sebab, harga gula dalam negeri sudah jauh lebih tinggi dari harga gula internasional sehingga pemerintah justru lebih memiliki opsi impor. Harga gula dalam negeri yang jauh lebih tinggi diketahui karena efisiensi industri gula tebu nasional yang belum optimal.

"Jadi masih suram untuk swasembada gula. Tidak mungkin lah. Sampai ganti presiden pun tidak mungkin. Swasembada gula sudah dicanangkan sejak era SBY. Tahun 2018, mundur 2019 lalu 2022, sekarang mau 2025. Tetap tidak bisa karena kebijakan saling mendistorsi," kata dia.

Lebih lanjut, ia mengakui, petani saat ini lebih memprioritaskan menjual tebunya ke perusahaan giling swasta. Sebab, harga pembelian tebu dari perusahaan swasta lebih baik daripada BUMN. Khabsyin pun menuturkan, BUMN juga kerap kali tidak memiliki dana cukup untuk membayar gula maupun tebu petani.

"Bicara soal BUMN saya pesimistis. Dulu memang mayoritas pabrik gula adalah BUMN tapi makin lama banyak tutup karena merugi dan semakin habis. BUMN mendandani dirinya sendiri tidak bisa apalagi membantu petani," kata dia.

Ekonom Institute for Development of Economcs and Finance (Indef), Rusli Abdullah, menilai, sulit bagi Indonesia untuk mencapai swasembada gula tebu dalam lima tahun mendatang. Menurut dia, meskipun pemerintah berupaya untuk terus menambah pabrik gula baru, tapi ketersediaan tebu dalam negeri belum mencukupi.

Karena itu, Rusli menilai, pembangunan sisi hulu dan hilir harus beriringan agar para investor juga memiliki minat dalam berusaha di Indonesia. Meski begitu, Rusli mengapresiasi langkah pemerintah yang terus menggalakkan pembangunan pabrik gula baru.

Seperti yang dilakukan oleh  PT Industri Gula Glenmore dan PT Riset Perkebunan Nusantara, yang merupakan anak usaha holding perkebunan PTPN III (Persero).

"Kita harus apresiasi karena sudah ada keberpihakan untuk membenahi sektor gula tebu nasional," kata dia.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement