Sabtu 25 Sep 2021 05:25 WIB

Hukum Bagi Muslim Bermigrasi ke Negara Non-Muslim

Masalah justru muncul jika hal itu mereduksi keyakinan hidup umat Islam.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Ani Nursalikah
Hukum Bagi Muslim Bermigrasi ke Negara Non-Muslim. Pembangunan Masjid Eyyub Sultan di Strasbourg, Prancis Timur, Rabu, 24 Maret 2021.
Foto:

Dasar pertimbangan larangan Ibnu Hazm, kata Kiai Nasaruddin, bisa dihubungkan dengan kebijakan dari Sayyidina Umar bin Khattab saat menjadi khalifah. Beliau melarang ekstradisi pezina perempuan ke luar negeri, sebagaimana dilakukan dalam tradisi Nabi Muhammad SAW dan Sayyidina Abu Bakar. Alasan pelarang tersebut adalah karena dunia Islam sudah sedemikian kompleks.

Sehingga dikhawatirkan jika pezina itu diekstradisi ke negeri lain, dia akan dimanfaatkan musuh untuk membocorkan rahasia umat Islam. Sayyidina Umar kemudian mengganti hukum ekstradisi ini dengan penjara.

Di penjara, selain yang bersangkutan akan aman, negeri asal juga akan aman. Selain itu lebih dimungkinkan untuk melakukan pembinaan terhadap yang bersangkutan.

Dalam konteks masyarakat modern seperti sekarang, dunia internasional relatif sudah jauh lebih baik daripada masa Nabi Muhammad SAW ataupun masa sahabat. Kiai Nasaruddin menjelaskan, Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sudah mengatur secara khusus nasib dan kehidupan para pengungsi. Dengan demikian, migrasi Muslim ke negara-negara non-Muslim sah dan dibolehkan.

Dampak eksodus umat Islam akibat ekonomi dan politik

Eksodus besar-besaran umat Islam yang pernah terjadi ke negara-negara maju seperti Eropa, Kanada, Amerika, Australia, hingga Rusia yang disebabkan akibat krisis ekonomi dan politik menimbulkan dampak yang menyertainya. Eksodus yang dipicu oleh kedua aspek tersebut memberikan dampak hegemoni multidimensi di negara-negara tujuan.

Dampak tersebut, kata Kiai Nasaruddin, berupa dampak yang positif dan juga negatif. Tergantung dari sudut pandang mana seseorang melihatnya. Yang pasti di negara-negara tempat tujuan itu lahir generasi kedua mereka yang tetap beragama Islam. Hal ini berdasarkan pengamatan dari mantan direktur informasi NATO Murad Hofman dan penulis serta pengamat Oliver Roy.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement