Selasa 28 Sep 2021 14:39 WIB

Jokowi Didesak Batalkan Pemecatan 57 Pegawai KPK

Presiden perlu mencermati temuan Komnas HAM dan Ombudsman yang telah diberikan.

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Agus Yulianto
Mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi BEM Seluruh Indonesia (BEM SI) dan Gerakan Selamatkan KPK terlibat aksi saling dorong dengan polisi saat berunjuk rasa di sekitar Gedung Merah Putih KPK di Jakarta, Senin (27/9/2021). Aksi demonstrasi itu menuntut pembatalan pemecatan 56 pegawai KPK yang gagal Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) pada 30 September mendatang.
Foto: ANTARA/Indrianto Eko Suwarso
Mahasiswa yang tergabung dalam Aliansi BEM Seluruh Indonesia (BEM SI) dan Gerakan Selamatkan KPK terlibat aksi saling dorong dengan polisi saat berunjuk rasa di sekitar Gedung Merah Putih KPK di Jakarta, Senin (27/9/2021). Aksi demonstrasi itu menuntut pembatalan pemecatan 56 pegawai KPK yang gagal Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) pada 30 September mendatang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) diminta untuk segera mengambil sikap terkait pemecatan terhadap 57 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Yakni, membatalkan pemecatan puluhan pegawai berintegritas yang telah dilakukan pimpinan KPK.

"Mendesak Presiden Joko Widodo untuk mendengar suara mahasiswa dan elemen pro-demokrasi lainnya dengan membatalkan pemberhentian 57 pegawai KPK melalui Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang bermasalah," kata peneliti Public Virtue Mohamad Hikari Ersada dalam keterangan, Selasa (28/9).

Dia mengatakan, Presiden Jokowi perlu mencermati temuan Komnas HAM dan Ombudsman yang telah diberikan di istana negara. Menurutnya, temuan kedua lembaga negara tersebut lebih dari cukup untuk mendasari alasan keputusan kepala pemerintahan untuk untuk pembatalan pemberhentian 57 pegawai KPK.

"Demi kepentingan umum. Apalagi UU KPK terbaru meletakkan Presiden sebagai atasan KPK. Jadi Presiden berwenang membatalkan keputusan pemberhentian 57 pegawai KPK," katanya.

Hikari melanjutkan, unjuk rasa elemen rakyat sipil dan aliansi mahasiswa (BEM SI) merupakan bentuk gugatan masyarakat yang wajib diperhatikan presiden. Unjuk rasa itu dinilai sebagai bentuk keprihatinan pemberantasan korupsi yang terus melorot.

"Pemberantasan korupsi kian mengkhawatirkan dan momok kualitas demokrasi Indonesia yang merosot hari ini bersumber pada lemahnya KPK," kata Deputi Direktur Public Virtue, Anita Wahid.

Menurutnya, kekuatan jaringan elite politik yang korup telah memanfaatkan polarisasi masyarakat dengan menyebarkan tudingan taliban di KPK untuk melemahkan pemberantasan korupsi. Dia mengatakan, tudingan itu tidak nasionalis diciptakan untuk menyerang kredibilitas dan integritas pegawai KPK yang selama ini berani dan jujur.

"Isu talibanisme bertujuan untuk melunturkan dukungan rakyat, dengan menakut-nakuti masyarakat yang takut pada isu terorisme," kata putri Gus Dur tersebut.

Seperti diketahui, KPK resmi memecat 57 pegawai yang dinilai tidak memenuhi syarat (TMS) berdasarkan TWK, termasuk penyidik senior Novel Baswedan. Pemberhentian tersebut berlaku efektif per 1 Oktober 2021 nanti.

TWK merupakan proses alih pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) menjadi polemik lantaran dinilai sebagai upaya penyingkiran pegawai berintegritas. Ombudsman juga telah menemukan banyak kecacatan administrasi serta didapati sejumlah pelanggaran HAM oleh Komnas HAM.

Meski demikian, KPK dinilai mengesampingkan temuan Ombudsman dan Komnas HAM terkait pemecatan pegawai. Pimpinan KPK hanya berpegang serta menyinggung putusan MA dan MK yang menyatakan pelaksanaan TWK sah.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement