Jumat 01 Oct 2021 14:16 WIB

Soal Revisi UU SKN, Ini Saran dari Akademisi

Tommy Apriantono beri sejumlah masukan, antara lain KONI dan KOI yang tetap dipisah.

Red: Israr Itah
Pebulutangkis ganda Putri Indonesia Greysia Pollii (kiri) dan Apriyani Rahayu memperlihatkan medali emas yang berhasil mereka raih untuk nomor bulutangkis ganda putri Olimpiade Tokyo (ilustrasi). Revisi UU SKN diharapkan mengakomodasi banyak hal, mulai menyertakan Desain Besar Olahraga Nasional (DBON), memaksimalkan peran antarlembaga, menetapkan aturan bonus multievent  serta dana pensiun atlet. Juga KONI dan KOI yang tetap terpisah.
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Pebulutangkis ganda Putri Indonesia Greysia Pollii (kiri) dan Apriyani Rahayu memperlihatkan medali emas yang berhasil mereka raih untuk nomor bulutangkis ganda putri Olimpiade Tokyo (ilustrasi). Revisi UU SKN diharapkan mengakomodasi banyak hal, mulai menyertakan Desain Besar Olahraga Nasional (DBON), memaksimalkan peran antarlembaga, menetapkan aturan bonus multievent serta dana pensiun atlet. Juga KONI dan KOI yang tetap terpisah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Stakeholder olahraga Indonesia tengah menanti hasil kerja DPR RI yang akan merevisi Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional (UU SKN) No.3 Tahun 2005. Terkait ini, Panitia Kerja (Panja) DPR RI diminta lebih cermat dalam membahas revisi UU SKN tersebut. Sebab, rumusan dari pembahasan ini bakal menjadi acuan pola pembinaan olahraga Tanah Air.

Dosen Ilmu Keolahragaan Institut Teknologi Bandung (ITB) Tommy Apriantono mengatakan, ada beberapa poin penting yang perlu disoroti Panja RUU SKN. Di antaranya menyertakan Desain Besar Olahraga Nasional (DBON), memaksimalkan peran antarlembaga, menetapkan aturan bonus multievent  serta dana pensiun atlet.

“Tren di Indonesia ganti pimpinan, ganti kebijakan. Bappenas era Bambang Brodjonegoro pernah menyusun peta jalan prestasi olahraga Indonesia. Kemenpora saat ini punya DBON yang sudah menjadi Perpres, tetapi tak cukup. Perlu undang-undang agar tak berubah ketika pimpinannya berganti,” kata Tommy dalam keterangan yamg diterima Republika.co.id, Jumat (1/10).

DBON yang disahkan Presiden RI Joko Widodo dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 86 Tahun 2021 memuat visi besar sektor olahraga menuju 100 tahun Kemerdekaan Indonesia. Tak sekadar target prestasi 5 besar Olimpiade 2044, melainkan juga menciptakan 70 persen masyarakat Indonesia, anak-anak hingga dewasa, berolahraga

“Artinya harus mengenalkan olahraga kepada anak sejak dini, tempatnya di sekolah. Selama ini tumpang tindih karena pendidikan ranah Kemendibud. Ada pula Kementerian Agama yang menaungi madrasah. Keterkaitan antarlembaga ini perlu diatur, termasuk memaksimalkan stakeholder seperti KOI dan KONI,” ujar Tommy.

Terkait  KOI dan KONI, Tommy menilai Panja DPR RI tak perlu beradu pendapat menyatukan kedua lembaga. Sebab, fungsi KOI dan KONI berbeda. KOI mengurus keikutsertaan Indonesia di multi event Internasional dan KONI mengurus olahraga di sektor nasional.

Fungsi itu tercantum dalam UU SKN. Pasal 36 menuliskan KONI yang dibentuk federasi olahraga nasional bersifat mandiri dan melaksanakan pengelolaan, pembinaan, dan pengembangan olahraga prestasi berdasarkan kewenangannya serta melaksanakan dan mengoordinasikan kegiatan multi event tingkat nasional.

Sementara Pasal 44  menulis keikutsertaan Indonesia di multi event Internasional dilakukan KOI atau National Olympic Committee (NOC) yang  diakui Komite Olimpiade Internasional (IOC). Pada Ayat 4 pun disebut, KOI bekerja sesuai dengan aturan IOC, Dewan Olimpiade Asia (OCA), serta South East Asia Games Federation (SEAGF) serta organisasi olahraga Internasional lain yang terafiliasi dengan IOC dengan tetap memperhatikan ketentuan Undang-Undang.

Sistem tersebut, menurut Tommy, diterapkan di banyak negara. Salah satunya Jepang yang memiliki Japan Olympic Committee (JOC)  dan Japan Sports Association (JSPO). JOC, diterangkan Tommy, seperti KOI yang berafiliasi dengan IOC dan OCA untuk mengurus dan mengatur multi event internasional. Sementara JSPO serupa KONI yang mengurus multi event nasional.

“KOI dan KONI tinggal memaksimalkan fungsi karena berbeda tugas. Apabila disatukan cakupan kerjanya sangat luas dan tidak bisa satu organisasi mengatur semua. Menurut saya sistem saat ini sudah tepat, pembinaan  di induk federasi olahraga nasional, tetapi perlu di atur atlet mana yang turun di multi event tersebut,” kata Tommy.

Ia menilai, pemerintah perlu mengambil langkah tegas terkait regulasi atlet. Sebab, regulasi saat ini masih abu-abu karena ada peraih medali Olimpiade yang turun di PON. Hal ini, dikhawatirkan Tommy dapat mematikan regenerasi atlet sehingga ia berharap Panja RUU SKN dapat memberi solusi.

“Jepang punya Japan Institute of Sports Science (JISS) yang terafiliasi dengan Kementerian, seperti Deputi IV Kemenpora kalau di Indonesia. JISS adalah pengawas berisi expertise dan independen, mereka mengatur siapa yang boleh turun di National Sports Festival atau semacam PON versi Indonesia. Mereka tegas, tidak boleh atlet Olimpiade, apalagi yang peraih medali turun di sana,” kata Tommy.

“Belum lagi soal pembajakan atlet dan bonus yang tidak diatur, sehingga akhirnya terkesan daerah ingin buahnya saja dan tidak ada yang membina sejak awal. Termasuk mengatur bonus, mulai dari PON, SEA Games, Asian Games, hingga Olimpiade. Regulasi. Ini perlu diatur tegas pemerintah karena negara-negara maju juga mengatur hal tersebut, multi event sekelas PON tidak perlu ada bonus sehingga juga terpacu.”

Hal penting lain, Tommy menilai pemerintah harus menyediakan dana pensiun untuk atlet. Khususnya peraih medali di Olimpiade, multi event olahraga tertinggi di dunia. Langkah ini sekaligus menjadi bentuk apresiasi pemerintah terhadap pahlawan olahraga Indonesia di kancah dunia.

 

“Dulu sudah pernah ada, tetapi menurut Kementerian Keuangan tidak ada dasar hukumnya sehingga diberhentikan. Ini yang perlu dimasukkan oleh Panja RUU SKN agar atlet-atlet memiliki orientasi meraih medali Olimpiade,” ujar Tommy.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement