Jumat 01 Oct 2021 20:54 WIB

Semua Koruptor Pun Kini Diputuskan Berhak Mendapatkan Remisi

Putusan MK menyatakan semua narapidana memiliki hak dapatkan remisi tanpa terkecuali.

Red: Andri Saubani
Ilustrasi Remisi
Foto: Antara/Jessica Helena Wuysang
Ilustrasi Remisi

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Rizkyan Adiyudha

Mahkamah Konstitusi (MK) lewat putusannya pada Kamis (30/9) menolak permohonan uji materiil yang diajukan oleh terpidana kasus korupsi Otto Cornelis Kaligis (OC) Kaligis terkait syarat pengurangan masa pidana (remisi) bagi narapidana. MK memutuskan menolak permohonan pengujian materiil Pasal 14 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, namun menyatakan semua narapidana memiliki hak untuk mendapatkan remisi tanpa terkecuali.

Baca Juga

Dalam uji materiil tersebut, OC Kaligis menguji pasal 14 ayat (1) huruf i UU 12 tahun 1995 yang berisi, "Narapidana berhak mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi). Ketentuan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan hak-hak narapidana diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah" terhadap Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, "Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara".

Adapun, Peraturan Pemerintah yang mengatur pemberian remisi adalah PP No 99 Tahun 2012 yang mengatur syarat remisi bagi terpidana koruptor. Salah satu syaratnya adalah ditetapkan sebagai justice collaborator yaitu pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar perkara.

Dalam putusannya, MK berpendapat, penahanan atas diri pelaku tindak pidana, termasuk dalam hal ini menempatkan warga binaan dalam lembaga pemasyarakatan pada dasarnya merupakan perampasan hak untuk hidup secara bebas yang dimiliki seseorang. Meskipun demikian, pemberian hak tersebut tidak lantas menghapuskan kewenangan negara untuk menentukan persyaratan tertentu yang harus dipenuhi oleh warga binaan karena hak tersebut merupakan hak hukum (legal rights).

"Namun, persyaratan yang ditentukan tidak boleh bersifat membeda-bedakan dan justru dapat menggeser konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang ditetapkan, selain juga harus mempertimbangkan dampak overcrowded di lapas yang juga menjadi permasalahan utama dalam sistem pemasyarakatan di Indonesia," kata Hakim Konstitusi Suhartoyo.

Karena itu, menurut MK, adanya syarat-syarat tambahan di luar syarat pokok untuk dapat diberikan remisi kepada narapidana seharusnya lebih tepat dikonstruksikan sebagai bentuk penghargaan (reward) berupa pemberian hak remisi (tambahan) di luar hak hukum yang telah diberikan berdasarkan UU 12/1995.

"Sampai pada titik tersebut segala kewenangan mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai dengan persidangan pengadilan telah berakhir, dan selanjutnya menjadi ruang lingkup sistem pemasyarakatan, sehingga hal-hal tersebut kehilangan relevansinya apabila dikaitkan dengan syarat pemberian remisi bagi narapidana. Terlebih, kewenangan untuk memberikan remisi adalah menjadi otoritas penuh lembaga pemasyarakatan," jelas Hakim Suhartoyo.

Ia menyebut, tugas pembinaan terhadap warga binaannya tidak bisa diintervensi oleh lembaga lain. Apalagi bentuk campur tangan yang justru akan bertolak-belakang dengan semangat pembinaan warga binaan.

"Artinya, lembaga pemasyarakatan di dalam memberikan penilaian bagi setiap narapidana untuk dapat diberikan hak remisi harus dimulai sejak yang bersangkutan menyandang status warga binaan, dan bukan masih dikaitkan dengan hal-hal lain sebelumnya ketentuan Pasal 14 ayat (1) UU Pemasyarakatan tidak bersifat diskriminatif karena hanya memuat rincian tentang hak-hak narapidana, termasuk hak untuk mendapatkan remisi (huruf i), tanpa disertai kondisi atau persyaratan terpenuhinya hak tersebut," jelas Hakim Suhartoyo.

Merespons putusan MK, KPK menyatakan pemberantasan korupsi harus dilakukan secara terintegrasi dari hulu ke hilir. Termasuk, dalam pemberian remisi bagi narapidana kasus korupsi.

"Menanggapi pandangan bahwa terpidana korupsi berhak mendapatkan remisi, kami sampaikan bahwa pemberantasan korupsi sepatutnya kita maknai sebagai siklus dari hulu ke hilir yang saling terintegrasi," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri di Jakarta, Jumat (1/10).

Ali menegaskan, perkara korupsi adalah kejahatan yang bersifat luar biasa (extra ordinary crime) yang bukan saja harus diusut demi rasa keadilan, tapi juga harus dapat memberikan efek jera kepada pelaku. Konsep tersebut, menurut Ali, selaras dengan strategi trisula pemberantasan korupsi yang memadankan upaya penindakan-pencegahan-pendidikan, demi mewujudkan pemberantasan korupsi yang memberi manfaat nyata bagi masyarakat.

 

 

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, sejauh ini lembaga antirasuah hanya dimintai rekomendasi terkait pemberian remisi terkait justice collaborator (JC) narapidana KPK. Dia melanjutkan, KPK tidak pernah memberikan remisi meskipun bagi narapidana KPK yang mengajukan JC.

Dia mengungkapkan, kepala lapas biasanya mengonfirmasi apakah narapidana KPK yang akan mendapat remisi itu telah berstatus sebagai JC, apakah yang bersangkutan telah membayar denda ataupun uang pengganti kerugian negara. Dia melanjutkan, KPK juga tidak bisa melarang pemerintah untuk tidak memberikan remisi terhadap narapidana tertentu.

"Apakah rekomendasi itu jadi bahan acuan lapas atau ditjenpas untuk memberikan remisi ya itu sudah diluar kewenangan KPK," katanya.

Adapun, Kementeriaan Hukum dan HAM (Kemenkum HAM) menyatakan bahwa pemberian remisi bagi narapidana sudah dilakukan sesuai aturan yang berlaku, begitu juga bagi koruptor. Meskipun, pemberian remisi bagi narapidana korupsi dilakukan secara ketat.

"Untuk narapidana-narapidana tindakan tertentu seperti korupsi, terorisme, pelanggar HAM, narkoba, ancaman keamanan negara maupun kejahatan lintas batas negara, aturan mendapatkan remisi lebih ketat," kata Kabag Humas Kemenkumham, Tubagus Erif Faturahman di Jakarta, Jumat (1/10).

Dia menjelaskan, remisi adalah hak warga binaan pemasyarakatan (WBP) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemasyarakatan nomor 12 tahun 1995. Dia melanjutkan, putusan MK yang menyatakan bahwa semua narapidana berhak mendapatkan remisi sudah dijalankan dan tidak bertabrakan dengan praktik selama ini.

MK menyatakan semua terpidana, termasuk koruptor, yang sedang menjalani masa pemidanaan di lembaga pemasyarakatan berhak mendapatkan remisi sebagaimana dijamin UU Pemasyarakatan. Namun, karena MK tidak berwenang mengadili peraturan pemerintah (PP), MK tidak mencabut PP 99 Tahun 2012 yang melarang remisi ke koruptor.

Tubagus mengatakan, pengaturan dalam PP itu ditujukan bukan bermaksud sebagai pengurangan atau penghilangan hak. Dia mengatakan, hal itu dilihat sebagai rambu agar remisi itu tidak dilihat sebagai sesuatu yang pasti datangnya walau narapidana itu tidak mematuhi aturan yang berlaku.

"Sebagaimana dalam putusan MK, bahwa syarat dan ketentuan terkait pemberian remisi bukanlah pelanggaran tetapi bagian dari hak negara dalam membuat rambu-rambu pemberian remisi," katanya.

Adapun, Tubagus menjelaskan, aturan serta ketentuan pemberian remisi berpaku pada Peraturan Pemerintah Nomor 99 tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan

Juga Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat

"Tidak semua WBP otomatis mendapatkan remisi. Mereka yang bandel, sering melakukan pelanggaran, tidak mematuhi peraturan atau ketentuan yang ada, tidak akan mendapat remisi," katanya.

photo
Potensi korupsi tinggi di tengah pandemi - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement