Jumat 15 Oct 2021 19:41 WIB

Gaikindo: Harga Jadi Kendala Perkembangan Mobil Listrik

Rata-rata harga mobil listrik murni berada di kisaran Rp 600 juta.

Rep: Novita Intan/ Red: Friska Yolandha
Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menilai harga masih menjadi kendala perkembangan mobil listrik di Indonesia.
Foto: Prayogi/Republika.
Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menilai harga masih menjadi kendala perkembangan mobil listrik di Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menilai harga masih menjadi kendala perkembangan mobil listrik di Indonesia. Tercatat secara rata-rata harga mobil listrik murni masih berada pada kisaran Rp 600 juta sedangkan daya beli konsumen rentang Rp 200 juta hingga Rp 300 juta.

Ketua V Gaikindo Shodiq Wicaksono mengatakan penetrasi pasar kendaraan listrik di Indonesia masih rendah dan belum mencapai satu persen terhadap penjualan mobil di dalam negeri. Adapun penetrasi yang masih rendah juga diiringi infrastruktur berupa charging station yang masih terbatas dan industri komponen utama baterai yang masih dalam proses pembangunan, baru akan berproduksi pada 2024.

Baca Juga

“Kami mendorong produsen untuk mengembangkan mobil listrik harga terjangkau. Kita sudah melihat hasil implementasi LCGC (low cost green car) yang dikembangkan 2013. Apabila kita bisa mengembangkan kendaraan listrik dengan harga terjangkau, itu bisa jadi salah satu pendekatan," ujarnya saat webinar, Jumat (15/10).

Dari sisi industri mobil, Gaikindo menilai industri otomotif nasional membutuhkan transisi sebelum menuju battery electric vehicle (BEV). Sebab, perubahan mobil dari mesin pembakaran internal (internal combustion engine/ICE) ke BEV sangat radikal dan akan mengubah struktur industri otomotif nasional, mulai dari pemanufaktur, pemasok komponen, hingga konsumen.

“Diperlukan transisi alami dari ICE ke BEV, seperti halnya pergeseran dari transmisi manual ke otomatis. Ini untuk menghindari dampak negatif perubahan struktur industri otomotif,” ucapnya.

Itu sebabnya, menurut Shodiq, industri komponen lebih memilih transisi dari ICE ke mobil hibrida atau (hybrid electric vehicle/HEV) dan plug-in hybrid electric vehicle (PHEV) sebelum masuk BEV. Adapun masa transisi ini dapat dimanfaatkan industri komponen untuk membangun kompetensi. 

“Indonesia membutuhkan mobil listrik, seiring terus menurunnya pasokan bahan bakar fosil. Kemudian, BEV bisa mendorong pertumbuhan ekonomi melalui industrialisasi EV. Mobil listrik juga bisa menurunkan emisi gas buang. Apalagi, pemerintah sudah menetapkan target 25 persen mobil yang dijual pada 2025 merupakan mobil listrik,” ucapnya.

Berdasarkan data Gaikindo, per September 2021, penjualan BEV mencapai 611 unit, hanya 0,1 persen dari total pasar, sedangkan PHEV 44 unit. Adapun penjualan HEV sebanyak 1.737 unit atau 0,3 persen.

“PDB per kapita Indonesia saat ini masih kisaran empat ribu dolar AS, sehingga daya beli masyarakat terhadap mobil masih di bawah Rp 300 juta,” kata Shodiq.

Sementara itu, Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan Kementerian Perindustrian Sony Sulaksono menambahkan pihaknya berupaya mendorong penurunan harga, pemerintah telah memberikan insentif berupa pembebasan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) terhadap kendaraan listrik.

"Tentunya kami juga mendorong beberapa pabrikan pemegang merek untuk memproduksi city car. Ini bisa menarik bagi konsumen di Indonesia, hanya saja dukungan infrastruktur menjadi sangat penting," ucapnya.

Dosen Desain Produk Fakultas Desain dan Seni Rupa ITB Yannes Martinus Pasaribu memprediksi meski tanpa insentif, baterai kendaraan listrik akan mencapai nilai keekonomiannya pada 2030. Dia menilai pada dekade mendatang harga baterai kendaraan listrik di Indonesia sebesar enam puluh dolar AS per kilowatt hour (KWh).

"Mudah-mudahan kita bisa jalan cepat dan bisa sampai di bawah 60 dolar AS per KWh pada 2030," ucapnya.

Ketua Umum Gabungan Industri Alat Mobil dan Motor (GIAMM) Hamdhani Dzulkarnaen Salim memperkirakan sekitar 47 persen perusahaan komponen yang menjadi anggota asosiasinya akan terdampak kebijakan kendaraan listrik. Hal itu terutama berdampak pada perusahaan yang memproduksi mesin dan ribuan komponen di dalamnya.

"Kami perlu partner yang mumpuni di bidang teknologi kendaraan listrik. Sementara kalau diperhatikan, pabrikan otomotif contohnya Toyota, Hyundai, Tesla, dan Nissan itu mereka justru memiliki pabrik baterai sendiri. Buat kami, ini menjadi tantangan," ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement