Rabu 20 Oct 2021 21:48 WIB

Maulid Nabi Muhammad Momentum Mengikuti Jalan Rasulullah

Umat Islam memperingati Maulid Nabi Muhammad.

Rep: Ratna AJeng Tejomukti/ Red: Muhammad Hafil
Maulid Nabi Muhammad Momentum Mengikuti Jalan Rasulullah. Foto: Presiden Nusantara Foundation Imam Shamsi Ali.
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Maulid Nabi Muhammad Momentum Mengikuti Jalan Rasulullah. Foto: Presiden Nusantara Foundation Imam Shamsi Ali.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Imam Masjid New York, Shamsi Ali mengatakan di tengah ragam perbedaan pendapat tentang maulid apalagi dikaitkan dengan peringatan, ada satu hal yang penting untuk diingat. Bahwa umat muslim sepakat bahwa Nabi Muhammad itu harus dikenal, diimani, dicintai dan ditaati. 

"Poin yang ingin saya garis bawahi bahwa jangan sampai perbedaan pendapat, sesuatu yang alami bahkan terkadang diperlukan, menjadikan umat ini terpecah dan merobek ikatan ukhuwahnya,"ujar dia dalam rilis ynag diterima Republika, Rabu (20/10).

Baca Juga

Kata kunci dari relasi antara Rasulullah SAW dan Umat ini adalah ketauladanan. Dalam Al quran ada dua kata yang dipakai untuk memaknai ketauladanan ini. 

Pertama kata ittiba (ittabi’uuni) yang berarti mengikut. Dan yang kedua uswah (uswatun hasanah) yang berarti ketauladanan itu sendiri. 

Hal terpenting dari momen ini adalah untuk memperbaharui (tajdid) dan menyegarkan (refresh) yang menjadi bagian dar komitmen tauladanan. Dalma menguatkan komitmen dapat dilakukan  dengan mengikuti jalan atau contoh hidup yang beliau pernah jalani. 

Jalan hidup ini yang kemudian dibahasakan dengan kata populer sunnah. Sunnah atau jalan hidup Rasulullah mencakup seluruh aspek hidupnya. Bahkan pada hal yang bersifat personal sekalipun. 

Misalnya, ada sebuah hadits yang menegaskan pernikahan itu sebagai jalan hidup Rasul. Memilih untuk tidak menikah tanpa alasan yang dibenarkan secara syar’i dapat dikategorikan memilih jalan hdup yang di luar dari jalan hidup Rasulullah SAW. 

Annikahu min sunnati. Faman raghiba an sunnati falaesan minni (hadits). 

Sesungguhnya sunnah tertinggi dari Rasulullah SAW itu adalah mewujudkan peradaban dunia. Tentu peradaban yang dimaksud adalah perwujudan dari konsep //baldatun thoyyibatun wa Rabbun Ghafuur”. Peradaban yang berasaskan tauhid, kuat dengan ubudiyah dan indah dengan karakter disebut akhlaq karimah. 

Jika kita merujuk kepada kronologis perjalanan Hidup Rasulullah SAW, ada tiga fase yang harus menjadi rujukan. Pertama, fase kelahiran (Milad) hingga pengangkatan (bi’tsah). 

Seringkali fase ini tidak menjadi perhatian Umat. Seolah fase ini tidak memiliki makna dalam sejarah perjalanan umat ini. 

Padahal fase ini adalah fase persiapan dan pemantapan baginda Rasul, khususnya dalam membangun karakter pribadi yang unggul. Bukankah pada fase ini begitu banyak bukti-bukti agung bagaimana Allah mempersiapkan beliau untuk menjadi Lentera alam semesta. 

Baca juga : Ganjil-genap Diterapkan di Puncak pada Libur Maulid

Di fase inilah misalnya beliau dikenal telah menjadi individu yang al-Amin. Di fase ini beliau memperlihatkan keunggulan kepemimpinan yang menyatukan dalam kisah Hajar Aswad. Di fase ini beliau memperlihatkan heroisme (kepahlawanan) yang tinggi (kisah perang fijar). 

Fase ini mengajarkan kepada Umat, khususnya kepada para du’at dan Ulama bahwa untuk mencapai “maqam” (posisi) sebagai da’i dan Ulama bukan dengan cara instant. Memerlukan persiapan yang matang. 

Teristimewa dalam hal persiapan karakter dan integritas. Karena ilmu tanpa karakter dan integritas bagaikan pohon liar yang tiada buah. Kedua, fase al-bi’tsah (pengangkatan) hingga Al-Isra wal mi’raj. 

Pada fase ini sesungguhnya sudah memasuki pembangunan, bukan lagi persiapan. Sekiranya perjuangan itu bangunan pada fase ini pondasi bangunan itu mulai dipasang. 

Pondasi umat tentunya adalah akidah tauhid. Dan inilah yang Rasulullah SAW lakukan di Makkah: quuluu laa ilaaha illa Allah, mengajak manusia pada akidah Tauhid sebagai asas kehidupannya. 

Puncak penguatan fase ini terjadi justru ketika rintangan perjuangan itu memuncak. Di tahun yang sangat sulit itu yang dikenal dengan aamul huzni (tahun kesedihan) justru Allah mengangkat RasulNya ke Sidratul Muntaha melalui proses perjalan suci dari masjid Al-Haram ke Masjid Al-Aqsha. 

Esensi dari perjalanan ini sesungguhnya adalah penguatan akidah dan spiritualitas umat. Karenanya perjalanan ini menjadi ujian iman.

Tapi sekaligus menjadi jalan bagi turunnya perintah sholat yang merupakan energi spiritulitas Mukmin. Fase ini adalah fase kebangkitan Umat secara spiritualitas (ruhiyah) dan pribadi (fardi). 

Ketiga, fase Hijrahnya Rasulullah SAW hingga Fathu Makkah.

Jika fase sebelumnya adalah fase kebangkitan umat secara individu, fase Hijrah adalah fase kebangkitan umat secara kolektif (komunal). Karenanya hijrahnya Rasulullah bukan sekedar pindah tempat. 

Apalagi asumsi karena beratnya tantangan di Makkah. Seorang nabi atau rasul tidak akan menghindar dari tantangan seberat apapun  itu. 

Hijrahnya Rasulullah SAW justru karena Allah telah mempersiapkan kota Yatsrib sebagai Madinah yang bermakna pusat peradaban. Dan karenanya kota itu (Madinah) memiliki kata Sifat yang disebut “al-munawwarah” atau yang tersinari. 

Di Madinah inilah Rasulullah SAW Membangun Umat. Di Madinah inilah Rasulullah SAW mewujudkan peradaban manusia. 

Sebuah peradaban yang jauh melampaui wawasan dan visi zamannya. Peradaban yang memiliki visi jauh ke depan (visionary) melebihi realita masyarakat ketika itu. Peradaban yang belum pernah terbayangkan oleh masyarakat manapun sebelumnya. Baik bangsa Romawi, Persia, China maupun India.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement