Jumat 29 Oct 2021 14:10 WIB

Epidemiolog: Efektivitas Lockdown tak Bisa Sama

Setiap negara melakukan kesalahan dalam strategi penanganan Covid-19.

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Agus Yulianto
Petugas karantina meminta dokumen kesehatan para pemudik Warga Negara Indonesia (WNI) saat tiba di terminal kedatangan internasional Bandara Kualanamu Kabupaten Deliserdang, Sumatera Utara. Sebanyak 83 WNI dengan visa melancong yang terdampak karantina (lockdown) pandemi Covid-19 di Malaysia itu tiba dan langsung mengikuti prosedur pemeriksaan protokol kesehatan Covid-19 sebelum pulang ke daerah masing-masing. (Ilustrasi)
Foto: Antara/Septianda Perdana
Petugas karantina meminta dokumen kesehatan para pemudik Warga Negara Indonesia (WNI) saat tiba di terminal kedatangan internasional Bandara Kualanamu Kabupaten Deliserdang, Sumatera Utara. Sebanyak 83 WNI dengan visa melancong yang terdampak karantina (lockdown) pandemi Covid-19 di Malaysia itu tiba dan langsung mengikuti prosedur pemeriksaan protokol kesehatan Covid-19 sebelum pulang ke daerah masing-masing. (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pandemi Covid-19 terjadi hampir dua tahun terakhir di berbagai negara dan untuk menanganinya seringkali menerapkan karantina wilayah (lockdown). Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengingatkan, efektivitas lockdown setiap negara berbeda-beda.

"Efektivitas lockdown di negara maju dan efektivitas lockdown di negara miskin atau berkembang, tidaklah sama. Ternyata efektivitas lockdown di negara maju lebih tinggi karena bersifat komprehensif," ujarnya, Jumat (29/10).

Dia menyaksikan, saat lockdown dilakukan di Queensland, Australia, kemudian pemerintah memberikan bantuan dana ke rekening yaitu per 600 dolar Australia (sekitar Rp 6.408.775)

per orang setiap 2 pekan. Akhirnya, masyarakat bisa menjalani lockdown secara disiplin karena telah mendapatkan insentif yang komprehensif. 

Selain itu, dia mencontohkan, negara-negara di Eropa banyak yang berhasil menekan kasus Covid-19 ketika menerapkan lockdown rata-rata sebanyak dua kali masa inkubasi untuk menghentikan transmisi. Namun, kata Dicky, kondisi ini berbeda dengan negara-negara di Afrika yang menghindari lockdown. 

Sebab, dia menambahkan, negara-negara ini khawatir penduduknya meninggal dunia bukan karena Covid-19 melainkan akibat yang ditimbulkan usai lockdown. 

"Kemudian dimana posisi Indonesia? Indonesia gagal di tengah. Sebenarnya, Indonesia tidak pernah melakukan lockdown, karena Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat yang semi lockdown," ujarnya.

Namun, dia menambahkan, ketika situasi membaik, umumnya rata-rata negara mengalami masalah ketika melakukan pelonggaran lebih cepat. Dia mencontohkan, Inggris yang terlalu awal saat melonggarkan pengendalian kasus dan menyelenggarakan Liga Inggris dan mengumpulkan penggemarnya menonton. Akhirnya, event ini menyebabkan terjadinya peningkatan kasus Covid-19. 

Dia juga menyebutkan, ketika Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat yang sempat memberikan imbauan tidak usah pakai masker kalau sudah divaksin meski akhirnya diralat karena kasus Covid-19 bertambah. "Jadi, setiap negara melakukan kesalahan dalam strategi (dalam penanganan Covid-19). Padahal, ada varian baru virus tentu berisiko," katanya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement